Sabtu, Juli 5, 2025
Home Artikel
Category:

Artikel

5

Pengembangan Fiqih Imam Malik

Oleh: Drs. Indra Suhardi, M. Ag.[1]

  1. PENDAHULUAN

Wafatnya Rasulullah Saw menandai berakhirnya pembentukan syariat Islam. Para sahabat dan generasi selanjutnya sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan mengembangkan Islam yang dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat kompleks. Namun kepergian beliau tidak berarti berakhirnya pembentukan hukum Islam. Rasulullah Saw telah meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. 

Periode pada awal-awal kedua hijriyah dan berlanjut hingga pertengahan abad ke empat hijriyah. Fiqh pada masa ini mengalami perkembangan pesat dan mengagumkan, mengalami kematangan sempurna dan memberikan yang terbaik.  Setiap mazhab pada hakikatnya, merupakan madrasah fiqh yang memperlihatkan metodologi fiqh yang cermat kepada para pengikutnya, dengan memperlihatkan metode mereka bagaimana memahami syariat dan mengistinbathkan hukum dari nash-nash dan kaidah-kaidah Islam.

Imam Malik adalah salah seorang dari ahli fiqh yang terakhir bagi kota Madinah dan juga yang terakhir bagi fuqaha’ Madinah. Hal inipun terlihat dalam metode ijtihad yang digunakan oleh Imam Malik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang dihadapi oleh masyarakat muslim waktu itu, Imam Malik mencari hukumnya di dalam al-Qur’an, dan jika tidak menemukannya dalam al-Qur’an, maka Imam Malik mencarinya di dalam al-Sunnah Nabi, dan apabila di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tidak ditemukan, maka dia mendasarkan pendapatnya kepada ijma’  para sahabat, dan apabila ijma’ para sahabat tidak ada mengenai masalah (hukum) tersebut, maka Imam Malik menggali hukum (istinbath) dengan cara ber- ijtihad diantaranya menggunakan amalan ‘amal ahl Madinah orang madinah.

Di dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan penjelasan mengenai sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath khususnya pada Mazhab Imam Malik, dengan judul, “Pengembangan Fiqh Oleh Imam Malik” dengan rincian pembahasan berikut ini :  Bagaimana biografi  Imam Malik, lingkungan hidupnya, bagaimanakah metode istinbath hukum Imam Malik, murid-murid Imam Maliki, yang terakhir pengaruhnya terhadap sulthan. Demikianlah gambaran singkat  pembahasan ini, semoga tulisan ini bermanfaat adanya dan merupakan bahan kecil komparasi library, terutama dikalangan hakim progressif yang bercita-cita menerapkan norma-norma hukum Islam ke dalam hukum positif di Indonesia.

  1. PEMBAHASAN
  1. Biografi singkat Imam Maliki ( 94 H – 179 H ).

a. Kelahiran Imam Malik

Imam Malik adalah Imam kedua dari Imam-Imam yang empat dalam Islam. Dari segi umur, dia dilahirkan tiga belas tahun sesudah kelahiran Abu Hanifah tepatnya pada tahun 93 Hijriyah.[2] Dia dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz, dari sepasang suami istri Anas bin Malik dan Al Aliyah binti Syuraik bin Abdurrahman bin Syuraik Al Azadiyah, bangsa Arab Yaman. Ayah Imam Malik bukan Anas bin Malik sahabat Nabi, tetapi seorang tabi’in yang sangat minim sekali informasinya. Dalam buku sejarah hanya mencatat, bahwa ayah Imam Malik tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah, nama suatu tempat di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah. Walaupun demikian, dia pernah mempelajari sedikit banyak hadits-hadits Rasulullah.[3]

Nama lengkap Imam Malik yaitu Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi.[4]

Imam Malik adalah salah seorang dari ahli fiqh yang terakhir bagi kota Madinah dan juga yang terakhir bagi fuqaha’ Madinah. Dia berumur hampir 90 tahun.[5] Dia dipandang sebagai perawi hadits Madinah yang paling terpercaya dan sanad (rangkaian perawi hadits) paling tsiqah (terpercaya). Dia juga menguasai fatwa-fatwa Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar bin Khattab dan Aisyah binti Abu Bakar serta muridnya.[6] Imam Malik terkenal pula dengan sebutan Imam daar al-Hijrat (Imam dari kota Madinah). Sebutan ini diberikan kepadanya karena dalam sejarah hidupnya, Dia tidak pernah meninggalkan kota Madinah, kecuali hanya untuk naik haji ke Makkah. Dia adalah Imam dari Madzhab Maliki, salah satu dari Madzhab Sunni yang empat.

Dia mempelajari ilmu pada ulama-ulama Madinah, di antara para tabiin, para cerdik pandai dan para ahli hukum Islam. Lalu dia dididik di tengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas pikiran, cepat menerima pelajaran, kuat ingatan dan teliti. Dari kecil dia membaca al-Qur’an dengan lancar di luar kepala dan mempelajari pula tentang al-Sunnah dan selanjutnya setelah dewasa dia belajar kepada para  ulama dan fuqaha. Dia menghimpun pengetahuan yang didengar dari mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, menaqal atsar-atsar mereka, mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliran-aliran mereka, dan mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga dia pandai tentang semuanya itu.[7]

b. Perjalanan Hidup Imam Malik

Setelah ditinggal wafat oleh orang yang menjamin penghidupannya (Imam Laits Mesir), mau tidak mau, Imam Malik harus mampu membiayai hidupnya bersama istri dan seorang anak perempuannya. Sebenarnya dia mempunyai barang dagangan seharga 400 dinar yang merupakan warisan dari ayahnya, tetapi karena perhatian dia hanya tercurah pada masalah-masalah keilmuan dan tidak memikirkan usaha dagangnya, akhirnya dia mengalami kebangkrutan, sehingga kehidupannya bersama keluarga menderita.[8]

Selama menuntut ilmu, Imam Malik dikenal sangat sabar. Tidak jarang dia menemui kesulitan dan penderitaan. Ibnu al-Qasim pernah mengatakan “Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian dijual di pasar”.[9] Dia sering mengunjungi para syekh, sehingga Imam Nawawi mencatat dalam kitabnya “Tahdzibul-Asma’ wal-Lughat” bahwa ia berguru pada 900 syekh, 300 dari tabi’in dan 600 dari tabi’ tabi’in. Ia juga berguru kepada syekh-syekh pilihan yang terjaga agamanya dan memenuhi syarat-syarat untuk meriwayatkan hadits yang terpercaya.[10]

Setelah Imam Malik tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya kecuali dengan jalan mengorbankan tekad menuntut ilmu, mulailah Imam Malik menyatakan seruannya kepada pengusaha, agar para ahli ilmu dijamin dapat mencurahkan waktu dan tenaga untuk menekuni ilmu, yaitu dengan memberi gaji atau penghasilan lain untuk menjamin kehidupan mereka.

Namun tak ada seorangpun para pengusaha yang menghiraukan seruan Malik. Karena pada saat itu Daulah Umayyah sedang sibuk memperkokoh dan menetapkan kekuasaannya, mereka sedang menarik simpati para ahli ilmu yang tua bukan yang muda. Hingga akhirnya secara kebetulan Imam Malik bertemu denga pemuda dari Mesir yang juga menuntut ilmu, pemuda itu bernama  Al-Layts ibn Sa’ad, dan keduanya saling mengagumi kecerdasan masing-masing, sehingga tambahlah semangat persaudaraan atas dasar saling hormat.[11]

Meskipun Imam Malik senantiasa menutupi kemiskinan dan penderitaannya dengan selalu berpakaian baik, rapi dan bersih serta memakai minyak wangi, tetapi al-Layts ibn Sa’ad mengetahui kondisi Imam Malik sehingga sepulang ke negerinya, al-Layts ibn Sa’ad tetap mengirimkan hadian uang kepada Imam Malik di Madinah, dan ketika itu Khalifah yang sedang berkuasa menyambut baik seruan Imam Malik agar penguasa memberi gaji atau penghasilan lainnya kepada ahli ilmu.[12] Hari-hari Imam Malik dilalui dengan sikap taqwa, rajin shalat, melayat orang yang mati, membesuk yang sakit, memenuhi kewajibannya, i’tikaf di masjid, dan berkumpul dengan teman temannya dan menjawab persoalan yang ditanyakan kepadanya.

c. Lingkungan Hidup Imam Malik

Imam Malik semasa hidupnya sebagai pejuang agama dan umat Islam seluruhnya. Imam Malik juga dilahirkan pada pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik al-Umawi. Dia meninggal dunia pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid di masa Abbasiyyah. Zaman hidup Imam Malik adalah sama dengan zaman hidup Imam Abu Hanifah. Semasa hidupnya Imam Malik mengalami dua corak pemerintahan, Umayyah dan Abbasiyyah di mana terjadi perselisihan hebat di antara dua pemerintahan tersebut. Di masa itu pengaruh ilmu pengetahuan Arab, Persi dan Hindia (India) tumbuh dengan subur di kalangan masyarakat di kala itu.[13] Sehingga Malik dapat juga melihat perselisihan antara pro Abbasiyyah, pro Allawiyyin dan khawarij, juga perselisihan antara golongan Syi’ah dan Ahli Sunnah serta orang Khawarij.[14]

  1. Metode istinbath Hukum Imam Malik

Mengenai metode istinbat hukum Imam Malik, Hal ini dapat dilihat pada metodologi kajian hukum Madzhab Malik. Menurut Muhammad Hasbi ash-Shidieqy mengatakan bahwa Malik ibn Anas mendasarkan fatwanya kepada : Kitabullah, Sunnah Rasul yang dia pandang sahih, ‘Amal ahl al-Madinah, Qiyas, Fatwa sahabat, Maslahah mursalah, ‘Uruf, Saddu zara’i, Istishab dan Istihsan.[15] Menurut As-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat menyimpulkan dasar-dasar istinbath Malik ibn Anas ada 4 yaitu ; al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma’, ar-Ra’yu. Qaul sahabat dan ‘Amal ahl al-Madinah digolongkan dalam al-Sunnah, sedangkan ar-Ra’yu meliputi; maslahat al-mursalah, saddu al-dara’i, adat (urf), istihsan dan istishab.[16] Dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang dihadapi oleh masyarakat muslim waktu itu, Imam Malik mencari hukumnya di dalam al-Qur’an, dan jika tidak menemukannya dalam al-Qur’an, maka Imam Malik mencarinya didalam al-Sunnah Nabi, dan apabila di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tidak ditemukan, maka dia mendasarkan pendapatnya kepada ijma’  para sahabat, dan apabila ijma’ para sahabat tidak ada mengenai masalah (hukum) tersebut, maka Imam Malik menggali hukum (istinbath) dengan cara ber-ijtihad. Berikut metodologi kajian hukum Madzhab Malik.

  1. al-Qur’an

Di dalam hujjah dengan al-Qur’an, Imam Malik mengambil nash al-Qur’an berdasarkan atas dhahirnya, mengambil mafhumnya, baik meliputi mafhum mukhalafah dan mafhum al-aula. Imam Malik membedakan pengertian keduanya nash dengan pengertian dalil nash. Nash menurut Imam Malik ialah: “Apa yang tidak mungkin menurut ta’wil”.

Sedangkan dhahir menurut Imam Malik ialah: “Apa yang mungkin menurut ta’wil”.[17]

Kamudian kaitannya dengan penggunaan dari al-Qur’an antara yang dikehendaki khusus atau umum. Dari segi makna, menurut Malik ‘am tidak masuk dalam golongan dhahir. Al-Qarafi mengatakan bahwa almukhassis disisi Malik ada lima belas yaitu: akal, ijma’ kitab dengan kitab, qiyas jali dengan qiyas khafi, jika ‘am itu di al-Qur’an atau sunnah mutawatirahsunnah mutawatirah[18] dengan yang sepertinya, kitab dengan khabar ahadadat syarat, istisna’, sifat, ghayah, istifham dan khas.

2. Sunnah

Dalam berpegang kepada Sunnah sebagai dasar pengambilan hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada al-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terjadi pertentangan antara makna dhahir al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah sekalipun jelas (sharih), maka yang dipegang adalah makna dhahir al-Qur’an, tetapi apabila makna yang terkandung dalam sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl al-Madinah, maka dia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam Sunnah daripada dhahir al-Qur’an (Sunnah yang dimaksud adalah Sunnah mutawatirah atau masyhurah).[19]

3. ‘Aml Ahl Madinah

‘Aml ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ‘aml ahl Madinah yang asalnya dari al-naql, hasil dari mencontoh Rasulullah Saw, bukan dari ijtihad ahl Madinah, seperti tentang ukuran mudsha’ dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi Saw atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. ‘Amal semacam ini yang dijadikan hujjah oleh Imam Malik.

Menurut Ibnu Taimiah, yang dimaksud dengan ‘aml ahl al- Madinah adalah aml ahl Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan dari Nabi Saw, sedangkan kesepakatan-kesepakatan yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. ‘aml ahl Madinah yang asalnya dari al-naql, sudah merupakan kesepakatan kaum muslimin sebagai hujjah. Di kalangan Madzhab Maliki, ‘aml ahl Madinah lebih didahulukan daripada khabar ahad,[20]  sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberian oleh jama’ah, sedang khabar ahad adalah pemberian perorangan.

‘Aml ahl al-Madinah ada beberapa tingkatan:

  1. Kesepakatan ahl Madinah yang asalnya al-Naql
  2. Amalan ahl al-Madinah sebelum terbunuhnya ‘Utsman bin Affan.

‘Amal yang terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi Madzhab Maliki. Hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui ada amalan ahl Madinah pada masa lalu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah.

c. Amalan ahl al-Madinah yang dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya, ada dua dalil yang satu sama lainnya bertentangan, sedang untuk mentarjih dari salah satu dari kedua dalil tersebut ada yang merupakan aml ahl al- Madinah, maka dalil yang diperkuat oleh amal ahl Madinah itulah yang dijadikan hujjah oleh Imam Malik.

d. Amalan Ahl al-Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi Saw. Amalan Ahl al-Madinah yang seperti ini, bukan hujjah, baik menurut Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah maupun ulama’-ulama’ di kalangan Madzhab Malikiah.[21]

4. Fatwa Sahabat

Yang dimaksud sahabat di sini adalah sahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah didasarkan pada al-Naql. Berarti yang dimaksudkan fatwa sahabat itu, adalah berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat yang tersebut tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah Saw. Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat tersebut, tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan, dan fatwa sahabat yang demikian itu lebih didahulukan daripada qiyas. Juga ada kalanya Imam Malik menggunakan fatwa Tabi’in besar sebagai pegangan dalam menentukan hukum. Fatwa sahabat yang bukan hasil ijtihad sahabat, tidak diperselisihkan oleh para ulama’ untuk dijadikan hujjah. Begitu pula ijma’ sahabat yang masih diperselisihkan di antara para ulama’ adalah fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka. Di kalangan Muta’akhirin[22] Madzhab Maliki, fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka, dijadikan sebagai hujjah.[23]

5. Khabar Ahad

Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW. Jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar-khabar ahad itu dikuatkan oleh dalil-dalil yang qath’i. dalam menggunakan khabar ahad ini, imam malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qias dari  pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak popular dikalangan masyarakat madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut, tidak benar berasal dari Rasulullah saw Saw. Dengan demikian maka Khabar Ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qias dan maslahah.[24]

6. Qias

Metode qiyas dipraktekkan atau digunakan oleh Imam Malik apabila ada nass tertentu, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah yang mendasarinya. Imam Malik sedikit menggunakan Qiyas, karena beliau lebih mengutamakan penggunaan Amal Ahlu Madinah dan Qaul sahabat yang di pandang sahih. Qias dalam mazhab Maliki tidak memperoleh kedudukan seperti dalam mazhab Hanafi, dalam mempergunakan hadis dia tidak mensyaratkan kmasyhuran, hanya prsesuaan dengan amal ulama madinah.[25]

7. Al-Istihsan

Istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas yang Jalli (nyata) kepada tuntutan Qiyas yang khofi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum yang istisna’ (pengecualian) ada yang menyebabkan beliau mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.[26]  Imam Malik dalam berijtihad itu menggunakan istihsan. Imam Malik tidak menjadikan istihsan sebagai kaidah, tetapi dijadikan sebagai dasar pengecualian dalam kaidah Ulama Malik menghindari pemakaian qiyas yang berlebihan dengan jalan kembali kepada urf (adat kebiasan) dan kepada prinsip menolak kepicikan dan menolak kesukaran. Dalam pendapat Imam Malik kebanyakan itu adalah mengikuti sahabat Umar yaitu lebih mengedepankan istihsan dari pada qiyas sedangkan qiyas itu adalah pendapat sahabat Ali.[27]

Dalam pendapat Imam Malik, istihsan itu berarti melaksanakan sesuatu berdasarkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil yang umum Menurut Madzhab Maliki al-istihsan adalah “menurut hukum yang mengambil masalah yang  merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal almursal daripada qiyas, sebab menggunakan qiyas itu tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan. Dari ta’rif tersebut, jelas bahwa istihsan lebih mementingkan juz’iyyah atau maslalah tertentu dibandingkan dengan dalil-dalil kully atau dalil yang umum, atau dalam ungkapan lain sering dikatakan bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih dilihat dari tujuan syari’at diturunkan,[28] Artinya jika terdapat suatu masalah yang menurut qiyas yang semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu maslahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian itu harus dialihkan ke qiyas yang lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif.         

8. Al-Maslahah Mursalah

Adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’, suatu hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil yang memerintahkan untuk mengantikannya atau mengabaikannya.[29] Imam Malik menggunakan maslahah mursalah apabila tidak ada nash qur’ani atau hadis an Nabawi, karena syara’ itu tidak dating kecuali untuk kemaslahatan manusia, setiap maslahah syara’ mengandung kemaslahatan, tanpa ada keraguan. Apabila tidak ada nash, maka masalah yang hakiki itu memenuhi tahap tujuan (maqasid) syara’.[30]

Teori maslahah-mursalah pertama  kali diperkenalkan oleh Imam Malik (W. 97 H) pendiri mazhab Malik. Namun karena  pengikutnya yang lebih akhir  mengingkari hal tersebut, maka setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahah-mursalah kepada Imam Malik,[31] sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yangmenyatakan bahwa teori maslahah-mursalah ditemukan dan dipopulerkan oleh ulama-ulama usul fiqih dari kalangan asy-Syafi’iyah yaitu Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H.), guru Imam al-Ghazali. Dan menurut beberapa hasil penelitian, ahli usul fiqih yang paling banyak membahas dan mengkaji maslahah-mursalah adalah Imam al-Ghazali yang dikenal dengan sebutan hujjatul Islam.[32]

9. Sad al-Dzara’i.

Dzara’i secara lughah bermakna wasilah dan makna saddud dzari’ah adalah menyumbat wasilah.[33] Dasar istinbath yang banyak dipakai Imam Malik, banyak dijumpai masalah furu’iyyah yang dinukil darinya yaitu sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkan, maka akan menjadi haram pula, sarana yang menyampaikan pada yang halal maka hukumnya adalah halal sesuai dengan tuntutan kehalalannya, begitu pula yang membawa kemaslahatan adalah haram.[34]

10. Istishab

Imam Malik menjadikan istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap seperti hukum yang pertama. Yaitu tetap ada, begitu pula sebaliknya. Misalnya orang yang yakin telah berwudlu’ dan dikuatkan lagi, bahwa ia baru saja menyelesaikan salat shubuh, kemudian datang keraguan kepada orang tersebut tentang sudah batal atau belum batal wudhu’nya, maka hukum yang dimiliki oleh orang tersebut adalah belum batal wudhu’nya. Sebaliknya apabila ada seorang yang belum berwudhu’ dan dikuatkan pula bahwa ia belum melakukan suatu salat apapun, dan dia baru hendak mengerjakan salat, kemudian dating keraguan tentang sudah berwudhu’ atau belum, maka hukum yang dimiliki orang tersebut adalah, bahwa dia belum berwudhu. Inilah yang disebut istishab.[35]

3. Murid-Murid Imam Malik

Kebanyakan Imam-imam yang termasyhur pada zaman Imam Malik adalah murid dia, dan murid-muridnya datang dari berbagai penjuru negeri. Telah diceritakan dari Imam Malik bahwa di antara murid-muridnya ialah guru-guru dari golongan Tabi’in, mereka itu ialah: al-Zuhri, Ayyub Asyfiyyani, Abu al-Aswad, Rabi’ah bin Abi Abd al-Rahman, Yahya bin Said al-Anshari, Musa bin ‘Uqbah dan Hisyam bin ‘Urwah Dari golongan bukan Tabi’in: Nafi’ bin Abi Nu’im, Muhammad bin Ajlan, Salim bin Abi Umayyah, Abu an-Nadri, Maula Umar bin Abdullah dan lain-lainnya.[36]

Dari sahabatnya ialah, Sufyan al-Tsauri, al-Li’at bin Sa’ad, Hamad bin Salamah, Hamad bin Zaid, Sufyan bin Uyainah, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Syarik ibn Lahi’ah dan Isma’il bin Kathir. Dari murid-muridnya sendiri ialah Abdullah bin Wahhab, Abd al- Rahman ibn al-Qasyim, Asyhab bin Abdul Aziz, As’ad ibn al-Furrat, Abdul Malik bin al-Majsyun dan Abdullah bin Abdul Hakim.[37]

4. Sikap Imam Malik Terhadap Sulthan (Penguasa)

Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama yang terkemuka terutama dalam bidang ilmu hadis dan fiqh. Sehingga dengan keilmuan yang dimilikinya Khalifah al Mansur Pernah bermaksud menjadikan al-Muwatha’ sebagai buku pegangan yang harus dianut isinya, tetapi Imam Malik enggan dalam menetapkannya.[38] Menurut beberapa riwayat al-Muwatha’ tidak akan lahir apabila Imam Malik tidak dipaksa oleh khalifah  al- Mansur untuk membukukannya. Namun karena dipandang tidak ada salahnya untuk melakukan hal tersebut akhirnya lahirlah al-Muwatha’ yang ditulis pada masa al-Manshur (754 M-775 M) dan berakhir pada masa Khalifah al-Mahdi (775 M-785 M). Kitab al-Muwatha adalah salah satu karangan Imam Malik yang sangat populer, sehingga beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuanya kepada orang lain yang membutuhkannya. Banyak dari para muhaddisin besar mempelajari hadis dari beliau dan menjadi rujukan para ahli fiqh.

Imam malik diangkat menjadi seorang mufti dan merupakan sosok mufti yang dipercaya oleh umat pada saat itu. Dalam menjalankan tugasnya sebagai mufti Imam Malik banyak menghadapi keganasan dan kekejaman fisik dari penguasa, Imam Malik dikenal tegas terhadap penguasa, dan tidak mau ikut campur masalah politik manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tidak sejalan dengan aqidah islamiyah. Imam malik menentang tanpa takut resiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far gubernur madinah. Tatkala itu Ja’far keponakan dari khalifah al-mansur ini meminta ia memberi fatwa tentang baiat (sumpah setia kepada kahlifah al-Mansur) yang diberikan secara paksa, Imam Malik menyatakan cara seperti itu tidak sah. Imam Malik merasa tidak mungkin untuk melakukan itu. Sehingga dengan sikap imam Malik ini Ja’far merasa terhina sekali, iapun memerintahkan pengawalnya untuk mendera imam Malik sebanyak 70 kali.[39]

Daftar Pustaka

Ahmad al-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: Amzah, 2001)

M. Alfatih Suryadilaga (editor), Studi Kitab Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2003)

Hafid Al Ansori, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, Cet. Ke-3, 1994)

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)

Abdur Rahman Asy-Syarqawi, Riwayat 9 Imam Fiqh, (Bandung: Pustaka Pelajar Hidayah, 2000)

Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 2000)

Imam Munawwir, Mengenal Pribadi Tiga puluh Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke masa, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985)

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 1997)

Proyek Pembinaan perguruan Tinggi Agama, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: tp.,1981)

Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2002)

T.M. Hasbi Ash-Syidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)

Huzaimah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos, 1997),

T.M. Hasby ash-Siddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999)

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,( Jakarta: Pustaka Amani, 2003)

Yusuf al Qardhawi, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern,( Jakarta: Gema Insani, 2002)

Abdullah Mustafa Al Maraghi, Fath al-Mubin fi Tabaqat al Ushuliyyin, Terj. Husein Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 2001)

Wael B. Hallag, (2000),  A History of Islamic Legal Theories, Terj.  E.Kusnadiningrat, (Jakarta:Rajawali Press)


[1]  Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Idi / Mahasiswa Program Doktor UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

[2] Ahmad al-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: Amzah, 2001), hal. 71

[3] M. Alfatih Suryadilaga (editor), Studi Kitab Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2003), hal. 38

[4]  Hafid Al Ansori, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, Cet. Ke-3, 1994),  hal 139

[5] Ahmad al-Syurbasi, Sejarah …, hal. 47

[6] Hafid Al Ansori, et.al., Ensiklopedi —, hal. 142

[7] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 195

[8] Abdur Rahman Asy-Syarqawi, Riwayat 9 Imam Fiqh, (Bandung: Pustaka Pelajar Hidayah, 2000), hal. 278

[9] Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 2000), hal. 79

[10] Ahmad Asy-Syurbasi…, hal. 75

[11] Abdur Rahman Asy-Syarqawi…, hal. 279

[12] Abdur Rahman Asy-Syarqawi…, hal. 279

[13]Imam Munawwir, Mengenal Pribadi Tiga puluh Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke masa, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), hal. 245

[14] Syi’ah adalah suatu Aliran atau sekte yang sangat mengagungkan kepemimpinan sayidina Ali dan para keturunannya. Sekte ini terjadi setelah perang siffin yaitu perang antara pihak Ali sebagai khalifah dan pihak Mu’awiyah sebagai guberur Syam (Syiria) yang kurang puas terhadap kepemimpinan sang khalifah yang tidak mau mengadili orang-orang yang telah membunuh Utsman. Setelah pasukan Mu’awiyah hampir mengalami kekalahan, pemimpin perang mereka Umar bin Ash mengangkat pedang dan di atasnya ada al-Qur’an sebagai pertanda damai antara kedua belah pihak, lalu diadakanlah tahkim (arbitrase) antara pihak Ali yang diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Mu’awiyah dan diwakili oleh Umar bin Ash. Setelah berunding yang menang adalah dari pihak Mu’awiyah yang dengan kecerdikan wakilnya yaitu Umar bin Ash dengan mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah yang baru. Sedangkan sekte khawarij adalah sekte yang menganggap bahwa semua hukum adalah hukum Allah, sebagaimana simbol mereka “La hukma illa Allah” sehingga tidak ada hukum yang berasal dari manusia. Kelompok ini dulunya adalah pengikut Ali, setelah Ali menyetujuhi tahkim, maka mereka keluar dari barisan Ali. Orang-orang khawarij menganggap Ali, pengikutnya serta Mu’awiyah dan pengikutnya adalah kafir, mereka hanya mengakui Abu Bakar, Umar dan Utsman sebagai khalifah. Sedangkan Ahli Sunnah adalah suatu sekte yang tidak memihak kepada siapapun baik Ali dan Mu’awiyah, sekte ini dianggap lebih moderat dalam segala hal pemikirannya.

[15] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 1997)  hal. 185

[16] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Siddieqy…, hal. 185

[17] Proyek Pembinaan perguruan Tinggi Agama, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: tp.,1981)hal. 86

[18]Sunnah mutawatirah ialah sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang (rawi) yang biasanya para rawi itu tidak mungkin mengadakan kesepakatan untuk melakukan kebohongan, karena jumlah mereka yang banyak, jujur dan berbeda lingkungan tempat tinggalnya. Assunnah ini diceritakan oleh suatu kelompok kepada kelompok lainnya, yang masing-masing itu tidak mungkin mengadakan persekongkolan untuk berdusta meriwayatkan as-Sunnah tersebut. Contoh mengerjakan salat, puasa, haji dan adzan. Untuk lebih jelasnya lihat M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2002), hal. 22.

[19] Sunnah Masyhurah ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang, dua orang atau sekelompok sahabat yang tidak mencapai derajat atau tingkatan sunnah mutawatir. Termasuk kelompok ini adalah hadits riwayat dari Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud. Salah seorang dari mereka, diriwayatkan dari kelompok lain, yang tidak mungkin mengadakan kebohongan. Untuk lebih jelasnya lihat M. Ali Hasan, Ibid. hal. 23.

[20] Khabar ahad adalah segala khabar yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau lebih, tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya masyhur. Membahasakan hadits ini kepada Rasul berdasar kepada persangkaan semata bukan berdasar keyakinan. Lihat T.M. Hasbi Ash-Syidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 205.

[21] Huzaimah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos, 1997), hal.107

[22]Muta’akhirin adalah suatu kelompok ulama’ yang hidup pada masa abad kedua hijriah..

[23] Huzaimah Tahido Yango, Pengantar…, hal. 108

[24] Huzaimah Tahido Yango, Pengantar…, hal. 109

[25] Hasby ash-Siddiqy,Pengantar Ilmu Fiqh, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999) Hal. 133

[26] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,( Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal. 110.

[27] Yusuf al Qardhawi, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern,( Jakarta: Gema Insani, 2002), hal. 71-72

[28] Abd al-Wahab Khallaf… , hal. 104

[29] Abdul Wahhab Khalaf,…, hal. 116

[30] Teungku Muhammad Hasbi Asy Siddieqy…, hal.  222.

[31] Wael B. Hallag, (2000),  A History of Islamic Legal Theories, Terj.  E.Kusnadiningrat, (Jakarta:Rajawali Press), hal. 165-166

[32] Penulis sendiri cenderung dengan pendapat pertama yang menyatakan teori maslahah-mursalah  pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik dan menjadi popoler di tangan Imam al-Ghazali.

[33] Teungku Muhammad Hasbi Asy Siddieqy…,  hal. 277.

[34]Teungku Muhammad Hasbi…,  hal. 229-230

[35] Huzaimah Tahido Yango, Pengantar…, hal. 112

[36]Abdullah Mustafa Al Maraghi, Fath al-Mubin fi Tabaqat al Ushuliyyin, Terj. Husein Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta: LKPSM, 2001, hal. 81.

[37] Ahmad al-Syurbasi,…hal.  90

[38] Hasby ash-Siddiqy,Pengantar…, hal.120

[39] Huzaimah Tahido Yango, Pengantar…, hal. 105

0 comments 128 views
0 FacebookTwitterWhatsappTelegram

UQUBAT GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI

(Versi Qanun No. 7 Tahun 2013 dan Qanun No. 6 Tahun 2014)

Sebuah tinjauan dari sisi Teori Masalih Mursalah [1]

Drs. Indra Suhardi, M. Ag.

  1. PENDAHULUAN

       Indonesia adalah Negara Hukum[2] dimana salah satu ciri Negara Hukum adalah adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia demikian disebutkan oleh Imanuel Kant. Unsur-unsur Negara Hukum menurut Imanuel Kant adalah: 1. Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2. Adanya pemisahan kekuasaan dalam Negara; 3. Setiap tindakan Negara harus berdasarkan Undang-undang yang telah dibuat terlebih dahulu; 4. Adanya peradilan administrasi.[3] Dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi, maka setiap orang ataupun masyarakat mendapatkan suatu kepastian bahwa hak-hak yang telah melekat dalam dirinya akan dilindungi oleh Negara (dalam hal ini adalah pemerintah sebagai perwujudan dari suatu Negara), sehingga setiap orang lainnya atau negara itu sendiri, tidak diperkenankan untuk melanggar hak-hak yang dimiliki oleh seseorang tersebut.

       Sebagai Negara Hukum, Indonesia telah memberikan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia,[4] salah satu perlindungan tersebut yaitu terkait dengan penerapan hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-undang yang ada, sehingga dapat mewujudkan rasa keadilan dan memberikan perlindungan terhadap masyarakat, hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dalam hukum.

       Selain itu juga, tindakan ataupun perbuatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada, karena prinsip Negara Hukum segala tindakan penguasa (dalam hal ini adalah penegak hukum) harus berdasarkan pada aturan tertulis atau peraturan perundang – undangan. Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Negara Hukum semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.[5] Begitu juga bagi aparat penegak hukum, mempunyai kewajiban untuk mengikuti aturan main yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-udangan, dengan harapan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang berakibat pada hilangnya atau dilanggarnya hak-hak warga negara. Proses hukum yang adil, yang merupakan amanah dari konstitusi harus dilaksanakan.

       Aceh sebagai propinsi yang merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia telah diberi kewenangan khusus untuk menjalankan Syariat Islam, tentu tidak terlepas pula dari aturan-aturan dasar yang demikian. Syariat Islam yang ingin diterapkan adalah hukum-hukum yang memberi perlindungan, mendatangkan kedamaian, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran  kepada setiap individu dan kelompok sebagai warga bangsa yang berada di wilayah Aceh. Bukan Syariat yang hantam kromo (brutal), kejam dan lainnya seperti yang dipersepsi sebagian orang.

       Teori besarnya seperti diuraikan di atas, akan tetapi dalam prakteknya di lapangan, tidak menutup kemungkinan terjadinya kelalaian dari aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Syar’iyah) dalam menjalankan tugasnya. Salah satu kelalaiannya adalah salah dalam menentukan tersangka atau terdakwa dalam suatu jarimah, dimana pihak penyidik tidak menerapkan aturan-aturan yang ada yaitu HAJ (Hukum Acara Jinayat) sebagai dasar dalam hukum acara jinayat di Aceh. Dalam HAJ pada dasarnya telah ditentukan bahwa seseorang yang ditangkap atau ditahan harus memenuhi beberapa kriteria; pertama, seseorang tersangka diduga keras melakukan jarimah. Kedua, dugaan tersebut, didasarkan pada bukti permulaan yang cukup (lihat Pasal 18 HAJ). Sedangkan pengertian dari bukti permulaan yang cukup yaitu bukti permulaan untuk menduga adanya jarimah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 butir 28 HAJ. Tentunya dugaan tersebut telah didasari oleh keyakinan penyidik bahwa orang yang dijadikan tersangka/terdakwa adalah pelaku jarimah.

       Kesalahan dan kelalaian-kelalaian ini telah berakibat kepada sengsaranya – teranianya seseorang dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum, sehingga Negara dalam otoritasnya yang demikian harus mempertanggung jawabkan tindakannya di hadapan hukum. Dalam  Negara hukum semua orang dipandang sama kedudukannya tidak dibeda-bedakan, siapapun yang melakukan kesalahan/kelalaian harus diberi hukuman pula tak terkecuali Institusi Negara.

        Makalah kecil ini ingin menguraikan bahwa Uqubat Ganti Kerugian dan Rahabilitasi yang akan diterapkan dalam penegakan syariat Islam di Aceh seperti tersebut dalam qanun nomor 7 tahun 2013 tentang Hakum Acara Jinayat dan di dalam qanun nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat adalah merupakan hal baru bagi khazanah hukum Islam. Pembahasan ini menggunakan teori masalih mursalah sehingga tujuan penciptaan dan tujuan hukum akan bermanfaat bagi manusia pada umumnya sebagai bagian dari peran menjunjung tinggi nilai-nilai asasi manusia.

  1.   PEMBAHASAN
  1.  Pengertian Ganti Kerugian dan Rehabilitasi

                    Bila mengacu kepada qanun nomor 7 tahun 2013 tentang Hakum Acara Jinayat dalam pasal 97 ayat (1) disebutkan bahwa: “Tersangka, Terdakwa atau Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Qanun dan Peraturan Perundang-undangan lainnya atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”. Sedangkan bila kita mengacu kepada Pasal 68 ayat (1) Qanun nomor  6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, disebutkan bahwa : “ Setiap orang yang ditangkap dan ditahan oleh aparat berwenang yang diduga melakukan Jarimah tanpa melalui prosedur atau proses hukum atau kesalahan dalam penerapan hukum, atau kekeliruan mengenai orangnya, berhak mendapatkan ganti kerugian”.  

                     Adapun bila mengacu kepada pasal 99 ayat (1), Qanun nomor 7 tahun 2013 disebutkan bahwa : “Seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh Mahkamah diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Sedangkan di dalam  Pasal 69 ayat (1) Qanun nomor 6 tahun 2014 disebutkan bahwa:“ Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, berhak mendapatkan Rehabilitasi “.

                     Pengertian dari Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dapat kita lihat lebih lanjut ketika qanun HAJ bicara masalah asas. Pada penjelasan pasal 2 huruf (e) qanun HAJ, disebutkan :” Yang dimaksud dengan asas “ganti kerugian dan rehabilitasi” adalah adanya hak orang yang dirampas kebebasannya (ditahan) secara tidak sah atau dinyatakan bebas atau tidak terbukti bersalah oleh hakim untuk mendapat ganti kerugian atas penahanan tersebut serta pemulihan nama baik karena telah ditahan dan diproses atas tuduhan melakukan jarimah.

                     Kedua Qanun tersebut pada ketentuan umumnya tidak memberi definisi tersendiri tentang apa pengertian Ganti Kerugian dan apa pengertian Rahabilitasi. Sepertinya kedua qanun itu mencukupkan kedua pengertian itu bisa di tarik maknanya oleh para pakar hukum bila benar-benar menyimak apa yang diterangkan pada  pasal 97 ayat (1)  Qanun Hukum Acara Jinayat dan Pasal 68 ayat (1) Qanun nomor  6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat serta pasal 99 ayat (1), Qanun nomor 7 tahun 2013 dan Pasal 69 ayat (1) Qanun nomor 6 tahun 2014 di atas serta penjelasannya. Ada baiknya menurut penulis, karena masalah ini adalah baru untuk sebuah  pengembangan Fikih Lokal Aceh yang Islamis – Nasionalis, penjelasan pengertian pada ketentuan umum kedua qanun tersebut tentang “ganti kerugian” dan “rahabilitasi” sesungguhnya sangat lah patut untuk dituliskan atau barangkali nanti ketika peraturan gubernur yang mengatur tentang petunjuk teknis di lapangan hal itu akan ditulis dengan rigid.

       Sebagai perbandingan di dalam KUHAP masalah ganti kerugian tersebut dijelaskan dalam pasal 1 butir (22), “Ganti Kerugian”[6] adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Sedangkan pengertian Rehabilitasi dapat dilihat pengertiannya dalam Pasal 1 butir (23) KUHAP yaitu: “Rehabilitasi[7] adalah hak seseorang yang mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan    

  1. Kewenangan Mengadili

Bila mengacu kepada pasal 82 qanun HAJ kewenangan mengadili perkara penuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi adalah Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota. Di dalam pasal itu disebutkan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota berwenang memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam qanun, mengenai:

  • Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan
  • Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi setiap orang yang perkara jinayatnya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dalam pasal 83 lebih lanjut disebutkan, pelaksanaan wewenang Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/ Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dilakukan melalui Praperadilan. Tentu kita bertanya apa itu Praperadilan, bila kita baca tulisan M. Yahya Harahap[8] mantan Hakim Agung RI, dijelaskan bahwa Praperadilan itu merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP di tengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Namun salah satu cirinya ia berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri (untuk kontek pidana Islam Aceh) kita baca Mahkamah Syar’iyah.

  1. Yang berhak mengajukan permohonan Ganti kerugian dan rehabilitasi

Tata cara atau pemeriksaan sidang Praperadilan sebagaimana telah diuraikan di atas diatur dalam Qanun HAJ Bab X Bagian kesatumulai dari pasal 82 sampai dengan pasal 89. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, telah diatur tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan di sidang Praperadilan.

Adapun yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian bila kita lihat sebagaimana tercantum dalam pasal 97 ayat (3) HAJ adalah : Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Tersangka, Terdakwa, Terpidana atau ahli warisnya, atau pihak yang dirugikan kepada Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.

Pemeriksaan persidangan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota dengan dibantu oleh seorang panitera. Kenapa qanun tersebut mengatur pemeriksaannya dengan hakim tunggal, menurut penulis karena perkara tersebut dipandang ringan sehingga pemeriksaannya sangat insidentil yaitu dilakukan dengan cara cepat dan putusan dijatuhkan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak disidangkan.Terhadap putusan hakim tidak dapat dilakukan banding.

  1. Besarnya biaya ganti kerugian

Dalam pasal 89 ayat (1) qanun HAJ disebutkan tentang besaran ganti kerugian karena salah penangkapan atau salah penahanan yaitu untuk satu hari ditetapkan sebesar 0,3 gram emas murni atau uang yang nilainya setara dengan itu. Sedangkan di dalam ayat (2) nya disebutkan: ganti kerugian karena salah penggeledahan atau penyitaan, adalah sebesar kerusakan atas barang akibat penggeledahan dan penyitaan tersebut.

Sedangkan pembiayaan atas permintaan rehabilitasi sebagaimana dalam pasal 99 ayat (3), pembiayaannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

  1. Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi berdasarkan prinsip Masalih Mursalah (demi kepentingan umum).

Islam sesuai dengan misi yang diusungnya adalah agama yang menyelamatkan, agama perdamaian dan memberi perlindungan. Misi besar itu dijunjung dengan harapan dunia ini dalam skala besar akan menjadi rahmat bagi sekalian alam. Tentu lawan dari semua itu adalah kedhaliman dan banyak pula ayat di dalam Kitab Suci Al-qur’an memberi pelajaran supaya hambanya tidak berbuat kedhaliman atau penganiayaan. Justru sebaliknya dianjurkan adalah menegakkan keadilan dan kebenaran.

Rehabilitasi dan Ganti kerugian dalam fikih Islam tidaklah dikenal dan masalah ini adalah masalah baru dalam khazanah hukum Islam. Adanya lembaga rehabilitasi danganti kerugian tentu tidak terlepas dari pengaruh perkembangan kehidupan social. Dinamika ini tentu pula tidak boleh didiamkan oleh hukum Islam yang bersifat lentur dan dinamis seiring waktu dan tempat. Hal itulah yang melandasi pemikiran-pemikiran bahwa hukum Islam menganjurkan terjadinya proses social melalui imitasi, asimilasi, adaptasi, inovasi dan penyerapan selektif.[9]Seirama dengan pendapat tersebut Ali dalam disertasinya[10] menyebutkan “Jika hukum Islam dilepaskan dari pertimbangan waktu dan tempat, akan menjadikannya sebagai ilmu murni dan terisolasi. Hukum Islam akan menjadi sekumpulan peraturan yang didasarkan atas kriteria objektif, tetapi sifat dan keberadaannya terlepas dari pertimbangan waktu dan tempat”. Jadi peran siyasah al-syar’iyyah sangatlah urgen dalam penerapan hukum sehingga dapat mengantar kepada maksud atau cita hukum yang ideal.

Sesungguhnya bila dilihat maksud yang hendak dikejar dari lembaga ini adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia.[11] Hak asasi manusia dalam hukum Islam sangatlah dianjurkan untuk dijaga, diberi perlindungan, dijunjung tinggi harkat martabatnya sebagai manusia. Siapapun, masyarakat, dan negara harus mengedepankan akan perlindungan hak asasi manusia. Adapun prinsip-prinsip sangat asasi/mendasar dari tujuan syari’ah itu adalah, 1. Prinsip memelihara agama, 2. Memelihara keselamatan jiwa, 3. Memelihara harta benda, 4. Memelihara keturunan/keluarga, 5. Memelihara akal.[12]

Adanya seseorang yang salah dalam penangkapan dan penahanan serta dibebaskan dari hukuman lalu diberi hak untuk direhab nama baiknya (dipulihkan) dan diberi ganti kerugian adalah merupakan wujud dari salah satu tujuan pensyariatan hukum Islam dalam rangka memberi perlindungan kepada siapapun atas tindakan yang tidak sepatutnya atau sewenang-wenang.

Rehabilitasi dan Ganti kerugian sebagai hal baru yang diterapkan dalam implementasi penegakan syariat Islam di Aceh berpijak demi kemaslahatan. Aparatur negara dalam bertugas menangkap dan menahan seseorang adalah atas dasar kemaslahatan. Karena bila tidak dilakukan upaya penagkapan atau penahanan, orang yang diduga melakukan kejahatan akan lari dan menghilangkan barang bukti sehingga akan menyulitkan melakukan proses hukum berikutnya untuk mengungkap kebenaran. Mengungkap kebenaran dalam Islam sesuatu yang mesti. Namun dalam melakukan penangkapan,penahanan atau penuntutan, aparatur negara terkadang keliru mengenai orang, sehingga telah menagkap, menahan dan menuntut orang yang tidak bersalah. Dalam kasus seperti ini negara harus membayar kerugian dan merehab nama baik akibat orang yang ditangkap dan ditahan tersebut telah merasa dirugikan dan menjadi tercoreng nama baiknya. Jadi lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi ini diterapkan berdasarkan prinsip “masalih mursalah.[13] Illatnya (causa legis) adalah demi kepentingan umum. Maslahah Mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah menurut bahasa berarti “manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”. Gabungan dari dua kata tersebut yaitu maslahah mursalah.[14] Abdul Wahab Khalaf sebagaimana penulis kutip dalam buku Ushul Fiqh karangan Satria Efendi M. Zein mengemukakan bahwa Maslahah Mursalah berarti “sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum yang mendudkung maupun yang menolaknya”, sehingga ia disebut maslahah mursalah (masalah yang lepas dari dalil secara khusus).

Abdul Karim Zaidan sebagaimana penulis kutip dalam buku Ushul Fiqh karangan Prof. Satria Efendi M. Zein, lebih lanjut menjelaskan maslahah mursalah terbagi kepada 3 macam:

  1. al- Maslahah al- Mu’tabarah, yaitu maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya diwajibkan hukuman qishash untuk menjaga kelestarian jiwa dan lainnya;
  2. al-Maslahah al-Mulghah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal fikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataan bertentangan dengan ketentuan syariat. Misalnya, ada anggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan adalah maslahah. Akan tetapi, kesimpulan seperti itu bertentangan dengan ketentuan syariat yaitu ayat 11 Surat an-Nisa’;
  3. al-Maslahah al-Mursalah, dan maslahat macam inilah yang terdapat dalam masalah-masalah muamalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dan tidak pula ada bandingannya dalam al-Qur’an dan Sunnah untuk dapat dilakukan analogi. Contohnya peraturan lalu lintas dengan segala rambu-rambunya. Peraturan ini tidak ada dalil khusus yang mengaturnya. Namun peraturan seperti itu sejalan dengan tujuan syariat, yaitu untuk memelihara jiwa dan harta.

        Demikian halnya masalah Ganti Kerugian dan Rehabilitasi yang telah diatur dalam qanun nomor 7 Tahun 2013 dan dalam qanun nomor 6 Tahun 2014, tujuannya semata-mata ingin memberi perlindungan hukum bagi semua orang dalam rangka kemaslahatan umum dan menjunjung tinggi nilai-nilai asasi manusia. Terkait masalah tersebut Prof. Al Yasa’ mengemukakan bahwa “memasukkan pertimbangan HAM (hak asasi manusia) dalam pengistinbathan hukum pada masa sekarang dapat dianggap sebagai sebuah keharusan (bahkan keniscayaan), agar hukum yang dihasilkan nanti akan dirasakan lebih lebih sesuai dengan kenyataan dan keperluan masyarakat luas dan tidak akan diserang dan dilecehkan paling kurang oleh para pegiat HAM. Sebagaimana kita ketahui bersama, pada masa sekarang berkembang anggapan bahwa hukum yang tidak sesuai dengan HAM, atau paling kurang tidak mempertimbangkan HAM di dalam rumusan-rumusannya, akan dianggap sebagai hukum yang “primitive” atau “barbar”. [15]

        Sebab bila seseorang, masyarakat atau negara dalam kontek ini dibiarkan tidak diberi berupa sanksi merehabilitasi atau mengganti kerugian seseorang yang telah salah tangkap atau salah tahan atau salah tuntut dalam penegakan hukum, akan lahirlah preseden buruk dalam citra penegakan hukum. Negara dianggap sewenang-wenang, otoriter bahkan barbar dalam law enforcement dan ini tidak sesuai dengan semangat hukum modern yang progressive dan menjunjung tinggi nilai-nilai asasi manusia.  

        Dalam kontek ini barangkali ada beberapa dalil pendukung untuk menguatkan argumentasi penulis atas prinsip kemaslahatan yang diuraikan di atas yang bisa dijadikan indikasi bahwa siapapun dalam bertindak semena-mena harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, termasuk institusi negara sekalipun tetap tidak boleh melakukan tindakan semena-mena atau kedhaliman kepada siapapun karena berlawanan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

  • Surat Qaaf ayat 29

لِلْعَبِيدِ بِظَلَّامٍ أَنَا وَمَا …

artinya: …“Dan Aku sekali-kali tidak menzhalimi hamba-hamba-Ku.”

  • Surat An-Nisa’ ayat 135

…Hai orang-orang yang beriman jadilah Kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapakmu dan kaum kerabatmu.

  • Surat Al-Maidah ayat 8

artinya:

…hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.

  • Hadits Qudsi [16]
  • Wahai para hamba-ku, sesungguhnya telah AKU haramkan atas diri-KU perbuatan dhalim dan AKU jadikan ia diharamkan diantara kamu; maka janganlah kalian saling berbuat dhalim.

        Dari dalil-dalil di atas, dapat ditarik pelajaran bahwa Allah dan Rasul-Nya adalah sumber yang pertama yang tidak menghendaki terjadinya kedhaliman, karena kedhaliman adalah ketidakadilan sedangkan salah satu sifat Tuhan sendiri adalah Adil.

        Kelalaian aparat penegak hukum terhadap seseorang dalam hal ini salah penangkapan, salah penahanan dan sebagainya tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa umpan balik yang mengakibatkan orang atas perbuatannya menjadi rugi, menderita serta harga diri menjadi rendah dan malu. Pemerintah identik dengan kekuasaan dan kekuatan, sedangkan rakyat identik dengan kelemahan. Bila tidak ada aturan yang menjembatani atau memberikan hak pembelaan atas kelalaian aparat yang bertugas seperti itu, berarti Negara dianggap melanggengkan kedhaliman atas rakyat.

        Kisah berikut ini dimuat hanya untuk menjadi ilustrasi pemikiran bagaimana contoh seorang Amir/pemimpin dalam Islam tidak dibenarkan melakukan hal atau tindakan semena-mena kepada siapapun tanpa melihat ras, suku dan keyakinan. Di masa Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, ada peristiwa dimana seorang Gubernur di Mesir yang bernama Amru bin ‘Ash bermaksud hendak membangun sebuah Masjid namun terkendala dengan sepetak tanah dan rumah reot seorang Yahudi tua.

        Setelah dinegosiasi Yahudi ini tidak bermaksud menjual tanahnya. Gubernur kesal dan terus memaksa membangun Masjid di situ. Atas tindakan semena-mena penguasa itu Yahudi Banding ke Khalifah Umar, Khalifah Umar setelah mendengar kronologis peristiwa itu mengirim sepotong tulang unta yang berisi isyarat supaya sesegera mungkin Masjid itu dibongkar dan tanah milik Yahudi itu dipulihkan kembali.[17] Isyarat yang dikirim Khalifah Umar dalam bentuk tulang dalam peristiwa tersebut sebagai suatu pertanda bahwa siapapun dilarang melakukan perbuatan semena-mena terhadap orang lain, sekalipun berbeda keyakinan. Dalam hal ini Negara sekalipun tidak boleh berlaku sewenang-wenang dengan mengabaikan hak asasi seseorang atau masyarakat.

        Oleh karena itu lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi yang telah diatur pemerintah Aceh dalam qanun nomor 7 tahun 2013 dan dalam qanun nomor 6 tahun 2014, sekalipun ada anggapan dengan meminjam istilah Prof Syahrizal Abbas bahwa HAJ ini adalah copy paste KUHAP.[18] Paling tidak lembaga Praperadilan yang disuguhkan dalam qanun-qanun tersebut bisa dikatakan salah satu upaya pemerintah berbuat adil terhadap siapapun atas kesalahan, kekeliruan aparat penegak hukum karena salah dalam hal penangkapan dan penahanan terhadap seseorang.

  1. PENUTUP

        Masalah ganti kerugian dan rehabilitasi adalah masalah baru dalam kontek khazanah pengembangan fikih lokal Aceh khususnya dan di dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia pada umumnya, hal mana telah menjadi aturan dalam qanun nomor 7 tahun 2013 dan qanun nomor 6 tahun 2014 untuk diterapkan di Aceh adalah dalam rangka menjunjung nilai-nilai keadilan dan memberi perlindungan sebagai hak asasi manusia. Agar supaya setiap orang dalam bertindak hukum tidak semena-mena.

        Karena masalah baru dan mirip dengan isi KUHAP oleh sebagian orang beranggapan bahwa apa yang diatur dalam HAJ itu merupakan copy paste dari KUHAP sebagaimana diuraikan di atas, sama tetapi tentu nilai dasarnya berbeda. Namun, di sisi lain bahwa hukum Islam itu berkembang sesuai dengan waktu, ruang, keadaan, motivasi dan tradisi[19] dengan tidak meninggalkan ruh syariat itu sendiri seperti prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah.[20]

         Legalitas lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pensyari’atan hukum Islam, justru lembaga yang diadopsi itu dianggap dapat menjadi penyangga penegakan prinsip-prinsip keadilan, perlindungan terhadap dan untuk siapapun dengan prinsip demi kepentingan umum (Masalih Mursalah). Artinya semua aturan fikih (dan Siyasah Syar’iyyah) hanya untuk mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia. Aturan-aturan itu telah disyari’atkan Allah dan diijtihadkan para ulama untuk mencapai kepentingan tersebut.

        Dalam masalah ini penulis melihat ada keterlambatan-keterlambatan secara teknis antara penerapan peradilan syariat Islam di Aceh dengan regulasi-regulasi yang dibutuhkan oleh perangkat peradilan itu sendiri. Diantaranya tentang regulasi hukum acara jinayat yang di dalamnya masih butuh banyak secara teknis regulasi turunan dari Qanun Acara Jinayat itu untuk menjadi pedoman para penegak hukum di Pengadilan dan lembaga penegak hukum terkait terutama dalam hal ganti kerugian dan rehabilitasi. Berkaca kepada KUHAP yang telah terlebih dahulu menerapkan lembaga gati rugi dan rehabilitasi dalam hukum acara pidana di Indonesia senantiasa dalam pelaksanaannya banyak di dukung peraturan teknis seperti peraturan pemerintah nomor 27 Tahun 1983 dan Keputusan Menteri Keuangan tanggal 31 Desember 1983, No.983/KMK.01/1983. Tentu untuk Aceh aturan-aturan teknis terkait seperti itu dalam skala lokal berupa qanun-qanun sudah pada saatnya segera dirumuskan. Memang ada pribahasa mengatakan lebih baik terlambat dari tidak ada sama sekali. Mungkin tidak cocok pribahasa itu dalam kontek ini. Tetapi setidaknya keterlambatan-keterlamabtan itu dalam hal ini semakin menunjukkan kebenaran hipotesa DR. Yurnal, SH., S.Pd., M. Hum., yang ditulis dalam disertasi beliau yang telah dicetak menjadi sebuah buku berjudul: Sistem Kekuasaan Kehakiman Setengah Hati ke Mahkamah Syar’iyah. Yurnal dalam salah satu rekomendasinya mengharapkan kepada pemerintah yang mempunyai kekuasaan politik, diperlukan ketulusan dan kemauan politik hukum untuk mempertegas keberadaan lembaga Peradilan Mahkamah Syar’iyah. Mengingat sampai saat ini masih kuat perasaan dan anggapan berkembang di kalangan sebagian masyarakat Aceh, bahwa pemerintah pusat Jakarta, masih ragu-ragu dan belum serius untuk mengembangkan eksistensi Mahkamah Syar’iyah sebagaimana lembaga-lembaga peradilan yang lainnya.[21]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Syathibi, Al-Muwafaqat  fi  Ushul  al-Syari’ah, jilid III,  Al-Maktabah al- Tijariyyah al-Kubra, t.t.

Al-Yasa’ Abubakar, Metode Istishlahiyah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan Dalam Ushul Fiqih, PPs IAIN Ar-Raniry dan Bandar Publishing, Banda Aceh, 2012.

Ali, Hubungan Al-Quran dan Hadis: Kajian Metodologis terhadap Hukum Rajam,  (disertasi)tahun 2014 UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al- ‘Alamin, jilid III Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika, 2009

Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2005

Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: SH Muhammad Asyraf, 1982), hlm. 168.

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta, 2005

Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh,  editor H. Aminuddin Yakob dkk, Jakarta , Kencana, 2005.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Eresco, Bandung,1971

Sumber:http://hariswanindra.blogspot.com/2011/03/jangan-menzalimi-sesama.html, akses, 6 Des 2014

Yurnal,  Sistem Kekuasaan Kehakiman Setengah Hati ke Mahkamah Syar’iyah, Hikmat Mandiri, Tanah Abang Jakarta Pusat, 2012

sumber: http://iamproudtobemuslim.com/2014/02/11/kisah-keadilan-umar-bin-khattab-terhadap-seorang-yahudi.

Undang-Undang Dasar 1945

Qanun nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.

Qanun nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat

[1]   Di presentasikan sebagai tugas makalah dalam mata kuliah Fikih Al-Qanuni di UIN Ar-Raniry Banda Aceh pada kuliah mahasiswa program strata – 3. 

[2]   Hal ini disebutkan dalam UUD 1945 pasal 1 yaitu Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

[3] Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, Cetakan Kelima, 2005, hlm.132-133.

[4]     lihat dalam UUD 1945  BAB – X A, tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 10 pasal.

[5]   Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Eresco,( Bandung, 1971), hlm. 38 dalam Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Grafindo Persada, Jakarta, 2005), hlm. 75.

[6]  M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), edisi kedua, hlm.38.

[7] M. Yahya harahap, Pembahasan,…hlm.69.

[8]   M. Yahya harahap, Pembahasan,… Hlm. 1

[9] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: SH Muhammad Asyraf, 1982), hlm 168.

[10]  Ali, Hubungan Al-Quran dan Hadis: Kajian Metodologis terhadap Hukum Rajam,  disertasi tahun 2014 UIN Ar-Raniry Banda Aceh, hal. 27

[11] Tentu HAM yang dimaksud dalam wacana ini adalah HAM yang lebih familiar dengan nilai dan ruh Syariat Islam yang diambil dari Alquran dan Sunnah Rasulullah serta perjalanan sejarah umat Islam. Prof Alyasa’ di dalam bukunya “Metode Ishtishlahiyah” halamanan 115 menyebutkan bahwa  setidaknya ada dua rumusan HAM versi Ulama Islam dan sarjana Muslim, 1. Dokumen (formulasi) Paris 1981 dan 2. Dokumen (Deklarasi) Kairo 1990.  Pada Kesimpulannya Prof Alyasa’ menyatakan bahwa adanya penghargaan dan perlindungan atas HAM, merupakan prestasi penting dan capaian sangat berharga peradaban modern masa kini, dalam upaya memberikan perlindungan dan pemenuhan keperluan dasar manusia, agar penghargaan kepada manusia tetap ada secara layak. Meneruskan jalan fikiran ini maka umat Islam pun harus mempertimbangkan HAM dalam penafsiran atas kitab suci dan ajaran pokoknya secara umum, dan dalam mengistinbathkan (mengijtihadkan) hukum fiqih secara khusus. Memamsukkan pertimbangan HAM dalam pengistinbathan hukum pada masa sekarang dapat dianggap sebagai sebuah keharusan (bahkan keniscayaan), agar hukum yang dihasilkan nanti akan dirasakan lebih sesuai dengan kenyataan dan keperluan masyarakat masa kini, akan lebih mudah difahami oleh masyarakat luas dan tidak akan diserang dan dilecehkan paling kurang oleh para pegiat HAM. Sebagaimana kita ketahui bersama, pada masa sekarang berkembang anggapan bahwa hukum yang tidak sesuai dengan HAM, atau paling kurang tidak mempertimbangkan HAM di dalam rumusan-rumusannya, akan dianggap sebagai hukum yang “primitif” atau “barbar”.

[12] Prinsip-prinsip dasar yang menjadi tujuan utama syariat  lebih jauh dijelaskan oleh Al-Syathibi – dalam , Al-Muwafaqat  fi  Ushul  al-Syari’ah, jilid III,  (Al-Maktabah al- Tijariyyah al-Kubra, t.t.).

[13]  Mengutip seperti yang ditulis oleh Prof Al Yasa’ di dalam bukunya Metode Istislahiah halaman 35 menurut  Al Yasa’,  Al-Syathibi telah mengambil kesimpulan setelah meneliti ayat-ayat Al-Qur’an secara induktif (istiqra’) . Ayat-ayat yang dikutip Al-Syathibi terkait masalih mursalah adalah :  surat al-nisa’ ayat 165, al-Dzariat ayat 56, al-baqarah ayat  150, 179 dan 183, al-Haj ayat 39, al-Anbiya’ ayat 107, al-Mulk ayat 2, al-‘Ankabut ayat 45, Hud ayat 7, al-Maidah ayat 6 dan al-A’raf ayat 172. Sedangkan versi ‘Abd al-‘Athi Muhammad ‘Ali menghimpun ayat-ayat dengan jumlah yang lebih banyak lagi tentang itu.

[14]  Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh,  editor H. Aminuddin Yakob dkk, ( Jakarta , Kencana, 2005), Hal. 149

[15] Al Yasa’ Abubakar,  Metode Istishlahiyah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan Dalam Ushul Fiqih, PPs IAIN Ar-Raniry dan Bandar Publishing, (Banda Aceh, 2012), Hal. 121

  1.  Sumber:http://hariswanindra.blogspot.com/2011/03/jangan-menzalimi-sesama.html,  akses, 6 Des 2014

[17] sumber: http://iamproudtobemuslim.com/2014/02/11/kisah-keadilan-umar-bin-khattab-terhadap-seorang-yahudi.

[18]  Kata Pengantar sebagai Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, yang dimuat dalam  buku qanun nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.

[19] Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al- ‘Alamin, jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm 3.

[20]  Adapun prinsip-prinsip sangat mendasar dari tujuan syari’ah itu adalah, 1. Prinsip memelihara agama, 2. Memelihara keselamatan jiwa, 3. Memelihara harta benda, 4. Memelihara keturanan/keluarga, 5. Memelihara akal. Prinsip ini lebih jauh dijelaskan oleh Al-Syathibi – dalam , Al-Muwafaqat  fi  Ushul  al-Syari’ah, jilid III,  (Al-Maktabah al- Tijariyyah al-Kubra, t.t.).

[21]  Yurnal,  Sistem Kekuasaan Kehakiman Setengah Hati ke Mahkamah Syar’iyah, (Penerbit, Hikmat Mandiri, Tanah Abang Jakarta Pusat, 2012), cet. I,   Hlm. 248

0 comments 66 views
0 FacebookTwitterWhatsappTelegram

Kembalinya Teknologi Informasi Di Bumi Serambi Mekkah

Oleh : Luqmanul Hakim, A.Md. (DCB)

            Saat ini pengembangan dan penggunaan teknologi semakin canggih dan sangat besar. Bisa dikatakan mulai anak-anak usia 2 tahun, sudah diperkenalkan dengan berbagai macam permainan atau game yang terdapat pada sebuah ponsel. Apalagi tingkat remaja bahkan orang dewasa, pengetahuan tentang kecanggihan teknologi saat ini semakin dirasakan digunakan baik itu melalui ponsel atau laptop.

            Nah, disini penulis ingin mengingatkan kembali akan pentingnya teknologi informasi bagi kita semua. Penulis yang juga bekerja di salah satu Mahkamah Syar’iyah, bisa merasakan peningkatan kemajuan penggunaan teknologi didunia peradilan di tanah air. Apalagi saat ini di jajaran Mahkamah Syar’iyah se Aceh, telah kembalinya sosok yang peduli terhadap arti sebuah teknologi.

            Dia adalah YM. Dr.H. Abd. Hamid Pulungan, S.H., M.H., merupakan ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh. Sosoknya dikenal mampu dan peduli terhadap bidang teknologi informasi. Dahulu, semasa beliau menjadi hakim tinggi di Mahkamah Syar’iyah Aceh, beliau sangat aktif berkontribusi terhadap perkembangan bidang TI (Teknologi Informasi). Mulai dari menulis berita dan artikel pada website, hingga memantau keadaan perkara secara online yang dulu dikenal dengan SIADPA.

            Kembalinya YM. Dr.H. Abd. Hamid Pulungan, S.H., M.H., layak disebut seperti Kembalinya Teknologi Informasi Di Bumi Serambi Mekkah. Beliau yang baru berapa bulan di Aceh, kembali hadir menghidupkan lagi mesin teknologi yang mulai melemah bahkan mati.

            Tentu dalam menjalankan roda teknologi informasi di jajaran Mahkamah Syar’iyah, masih banyak sekali kendala yang harus dihadapi. Mulai dari kekurangan SDM (sumber daya manusia) hingga kekurangan bahkan belum adanya sarana dan prasarana yang memadai. Ini merupakan masalah besar yang harus dicarikan solusi secepatnya. Adanya SDM juga belum bisa sepenuhnya digerakkan, tanpa ada pelatihan dan pemahaman terhadap teknologi secara berkala.

            Mahkamah Agung Republik Indonesia yang saat ini terus menggunakan media teknologi sebagai penunjang kinerja, tentu harus kita ikuti dan jalankan karena kita bekerja dibawahnya. Khususnya kita lagi yang berada dibawah badan peradilan agama, yang belakangan ini telah meluncurkan beberapa aplikasi yang semua harus dijalankan.

            Mau atau tidak mau, bahwa penggunaan dan perkembangan teknologi semakin hari semakin terus meningkat. Dan kita yang bekerja untuk melayani masyarakat pencari keadilan juga mau atau tidak mau, kehadiran media teknologi informasi telah ada ditempat kita bekerja. Oleh karena itu, untuk menjalankan berbagai macam teknologi yang dikemas dalam sebuah aplikasi harus kita pelajari dengan baik.

            Penulis juga berharap, dengan hadirnya kembali YM. Dr.H. Abd. Hamid Pulungan, S.H., M.H., dapat memberikan solusi dalam memperbaiki segala kekurangan teknologi informasi yang ada di jajaran Mahkamah Syar’iyah se Aceh. Kita berharap juga, Mahkamah Syar’iyah se Aceh dapat bersaing dengan pengadilan lainnya diseluruh Indonesia dalam berbagai inovasi dan teknologi informasi. Demikian dulu yang dapat penulis informasikan, Insya Allah dilain waktu pembahasan mengenai teknologi informasi akan dibahas lagi. Mohon maaf bila ada kesalahan kata dan bahasa dalam penulisan.(DCB)

0 comments 22 views
0 FacebookTwitterWhatsappTelegram

Dr. Ridwan Mansyur, S.H., M.H.
 

Nothing endures but change, begitulah statemen Heraclictus, seorang filsuf kenamaan Yunani. Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Demikian halnya kebutuhan atas layanan pengadilan, seiring perkembangan zaman, ia terus berkembang dan berubah. Publik menghendaki agar pengadilan mampu dan senantiasa beradaptasi dengan laju perkembangan peradaban. Tidak ada jalan lain untuk dapat memenuhi ekspektasi publik tersebut kecuali dengan satu cara: pembaruan.

Mahkamah Agung memiliki komitmen serius dalam hal pembaruan peradilan. Untuk mempertegas komitmentersebut, disusunlah Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035.. Cetak biru ini merupakan peta jalan sekaligus mercusuar yang akan memandu dan memberi petunjuk arah pembaruan peradilan agar dapat berjalan lebih terstruktur, terukur, serta tepat sasaran.

Pembaruan peradilan mutlak diperlukan untuk memenuhi nilai-nilai inti Court ExcellenceBertolak dari sini, kemudian muncullah pertanyaan: 1) nilai-nilai apa saja yang mutlak harus dipenuhi untuk mewujudkan Court Excellence? 2) apa saja pembaruan-pembaruan yang telah diikhtiarkan oleh Mahkamah Agung? 3) apakah pembaruan-pembaruan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut telah selaras dengan nilai-nilai Court Excellence? Artikel ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Artikel lebih lengkap bisa download artikel Lihat Artikel

0 comments 32 views
0 FacebookTwitterWhatsappTelegram

Mahkamah Syar’iyah merupakan nama lain dari Pengadilan Agama yang berada di Provinsi Aceh yang diresmikan pada tanggal 4 Maret 2003 di Jakarta. Mahkamah Syar’iyah di Aceh dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Jo Qanun Provinsi Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 memutuskan bahwa Pengadilan Agama yang berada di Provinsi Aceh diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah sedangkan pada pasal 1 ayat (3) memutuskan bahwa Pengadilan Tinggi Agama yang berada di Provinsi Aceh diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh.

Dalam UU no 18 tahun 2001, Pasal 25 ayat (1) disebutkan: Peradilan Syariat Islam di Provinsi NAD sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Dalam ayat (2) disebutkan: Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Aceh.

Adapun yang membedakan Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah yaitu terletak pada kewenangannya. Mahkamah Syar’iyah memiliki kewenangan khusus dalam menangani perkara jinayah. Perkara jinayah yaitu perkara pidana yang diselesaikan berdasarkan syari’at Islam. Adapun yang membedakan hukum pidana islam dengan hukum pidana adalah hukum pidana islam bersifat keagamaan yaitu hukum yang bersumber dari Tuhan sedangkan hukum pidana merupakan hukum yang bersifat skular yang dibuat oleh manusia bersumber dari hukum Romawi.

Pada tahun 2019 yang lalu hingga saat ini dunia digemparkan dengan adanya temuan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang bersifat menular, dan pada awal Maret 2020 ditemukan adanya kasus pasien terjangkit COVID-19 di Indonesia. Untuk mencegah penyebaran COVID-19 tersebut, aktifitas manusia dibatasi dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Saat ini kita juga sedang berada diera digital, digital telah menstimulasi kehidupan manusia dan memberikan kemudahan bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya, dari mulai aktifitas sehari-hari dalam rumahtangga, aktifitas pendidikan, pekerjaan bahkan dalam menjalankan bisnis.

Penegakan hukum di lembaga peradilan. Pada saat PSBB kegiatan persidangan di lembaga peradilan diberbagai daerah terpaksa harus dibatasi untuk mencegah terjadinya penyebaran COVID-19. Hal tersebut mendorong terbentuknya Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Dengan berlakunya Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik ini diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi aparat penegak hukum dan para pihak yang berperkara dalam menyelesaikan perkara di Pengadilan disaat masa pandemi COVID-19.

Mahkamah Syar’iyah yang merupakan salah satu lembaga peradilan agama di Aceh juga memiliki hak dan kewajiban untuk turut melaksanakan Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah implementasi Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik di Mahkamah Syar’iyah ?
  2. Apakah kendala yang dihadapi pegawai Mahkamah Syar’iyah dalam mengimplementasikan Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik ?

Pembahasan

Implementasi Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa penyelenggara kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya dalam lingkup peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara dan oleh Mahkamah Konstitusi. Aceh merupakan daerah yang memiliki kekhususan salah satunya adalah dengan diberikannya peluang untuk menegakkan syari’at islam.

Penegakan syari’at islam di Aceh salah satunya dibuktikan dengan adanya Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga peradilan agama yang memiliki kewenangan khusus meyelesaikan perkara sesuai dengan syari’at islam. Adapun perkara yang menjadi wewenang Mahkamah Syar’iyah sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama adalah perkara mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sadaqah, ekonomi syari’ah dan perkara jinayah berupa minuman keras, mesum dan judi.

Seiiring berlakunya Qanun Aceh no 6 tahun 2016 tentang Hukum Jinayat, kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh sesuai Pasal 3 ayat 2 meliputi Jarimah Khamar, Maisir, Khalwat, Ikhtilath, Zina, Pelecehan Seksual, Pemerkosaan, Qadzaf, Liwath dan Musahaqah. Adapun terkait Hukum Acara Jinayat diatur melalui Qanun Aceh no 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.

Ditemukan adanya penyebaran COVID-19 di Indonesia awal maret 2020 lalu membuat berbagai macam kegiatan lembaga peradilan terkendala, salah satunya adalah kegiatan administrasi dan persidangan pidana yang mengharuskan adanya pertemuan banyak orang dalam satu ruangan.

Mahkamah Agung telah merespon tindakan pencegahan dan penanganan wabah covid 19 dengan cepat, yakni sejak pertama kali pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial berskala Besar (PSBB). Mahkamah Agung telah menerbitkan beberapa paket kebijakan melalui payung hukum berupa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) ataupun Surat Edaran Sekretaris Mahkamah Agung. Rangkaian aturan tersebut disusun dengan mengacu pada asas “keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi” (salus populi supreme lex esto).

Kebijakan Mahkamah Agung terkait hal ini, bersifat sangat dinamis dan dapat berubah dalam jeda waktu yang tidak terlalu lama, seriring dinamisnya perkembangan dan penyebaran Covid 19, khususnya di Indonesia. Mahkamah Agung terus melakukan pemantaua, komunikasi dan koordinasi dengan lembaga terkait agar seluruh kebijakan yang dikeluarkan dapat selaras dengan tujuan melindungi keselamatan para aparatur merupakan hal yang paling utama disamping memberikan pelayanan yang prima kepada para pencari keadilan.

Untuk mencegah adanya penyebaran COVID-19 ini Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan tentang Administrasi dan Persidangan Pidana di Pengadilan Secara Elektronik yaitu Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.

Perma yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung M. Syarifuddin pada 25 September 2020 ini disusun oleh Pokja berdasarkan SK KMA No. 108/KMA/IV/2020 tentang Kelompok Kerja Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Perma ini sebagai tindak lanjut Nota Kesepahaman antara MA, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference dalam Rangka Pencegahan Covid-19 pada tanggal 13 April 2020 lalu.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (12) Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik “Persidangan secara elektronik adalah serangkaian proses memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara terdakwa oleh pengadilan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi, audio visual dan sarana elektronik lainnya”. Sedangkan mengenai proses pelaksanaan persidangan secara elektronik juga telah diatur dalam pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik, dengan cara sebagai berikut:

  1. Hakim/ Majelis Hakim, Panitera/ Panitera Pengganti dan Penuntut bersidang di ruang sidang Pengadilan, sementara Terdakwa mengikuti sidang dari rutan tempat Terdakwa ditahan dengan didampingi/ tanpa didampingi Penasihat Hukum.
  2. Hakim/ Majelis Hakim, Panitera/ Panitera Pengganti dan Penuntut bersidang di ruang sidang Pengadilan, sementara Penuntut mengikuti sidang dari kantor Penuntut, dan Terdakwa dengan didampingi / tanpa didampingi Penasihat Hukum mengikuti sidang dari rutan/ lapas tempat Terdakwa ditahan.
  3. Dalam hal tempat Terdakwa ditahan tidak memiliki fasilitas khusus untuk mengikuti sidang secara elektronik. Terdakwa dengan didampingi/ tidak didampingi Penasihat Hukum mengikuti sidang dari kantor penuntut umum.
  4. Terdakwa yang tidak ditahan dapat mengikuti sidang di ruang sidang pengadilan atau dari kantor Penuntut dengan didampingi/ tidak didampingi oleh Penasihat Hukum atau tempat lain di dalam atau di luar daerah hukum Pengadilan yang mengadili dan disteujui oleh Hakim/ Majelis Hakim dengan penetapan.

Melihat uraian pasal tersebut, Mahkamah Agung sudah memberikan pilihan bentuk pemeriksaan perkara Jinayat guna memudahkan semua stakeholder yang berkepentingan dalam persidangan Pidana secara elektronik.

Dengan adanya Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik tersebut diharapkan kegiatan administrasi dan persidangan pidana dapat berjalan meskipun tidak dilaksanakan secara langsung untuk melindungi hak para pencari kedilan. Jika dilakukannya penundaan persidangan perkara pidana hingga selesai masa pandemi maka hal tersebut dapat menghabiskan masa tahanan terdakwa dan harus dilepaskan secara hukum dari tahanan sebelum kegiatan persidangan kembali dimulai.

Seiring dengan berlakunya Perma Nomor 4 Tahun2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik yang telah ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin di Jakarta pada tanggal 25 September 2020 lalu, untuk membantu pencari keadilan agar terlindungi haknya Mahkamah Syar’iyah di Aceh juga turut melaksanakan kegiatan administrasi dan persidangan perkara jinayah di Mahkamah Syar’iyah secara elektronik.

Setiap Mahkamah Syar’iyah di Aceh telah menyediakan akses pendaftaran perkara jinayah secara elektronik untuk memudahkan masyarakat yang ingin mendaftarkan perkara jinayah ke Mahkamah Syar’iyah. Setiap data pendaftar yang terkirim kelaman pendaftaran Mahkamah Syar’iyah akan tetap terjaga kerahasiaannya dikarenakan permintaan data yang dikirim harus sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku yaitu sesuai dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1-144/KMA/SK/I/2011 Tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan.

Untuk mengimplementasikan peraturan perundang-undangan secara maksimal dibutuhkan berbagai macam faktor pendukung, Soejono Soekanto berpendapat bahwa terdapat 5 (lima) faktor yang dapat mempengaruhi hukum dapat terimplementasi secara maksimal, diantaranya yaitu :

  • Faktor hukum itu sendiri.

Peraturan perundang –undangan dapat terlaksana secara maksimal apabila peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk sesuai dengan keadaan filosofis, sosiologis dan keadaan yuridis yang berkembang dimasyarakat saat ini.

  • Penegak Hukum

Aparatur penegak hukum yang dalam membentuk, melaksanakan dan menegakkan peraturan perundang-undangan dilakukan secara maksimal menjadi faktor utama hukum tersebut dapat terimplementasi dengan baik.

  • Masyarakat

Masyarakat yang sadar hukum merupakan salah satu indikator pendorong peraturan perundang-undangan dapat terimplementasi secara maksimal. Masyarakat yang sadar hukum akan menjadikan hukum tersebut sebagai acuan dalam berprilaku dan bertindak, sehingga tujuan dari terbentuknya peraturan perundang-undangan tersebut dapat dicapai secara maksimal.

  • Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasana yang memadai untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan juga merupakan factor pendorong peraturan perundang-undangan dapat terimplementasi secara maksimal. Kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki instansi penegak hukum menjadi kendala aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya yang dapat menyebabkan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan tidak dapat terimplementasi secara maksimal.

  • Kebudayaan

Kebudayaan merupakan kebiasan yang hidup dimasyarakat. Kebiasaan menjadi faktor utama terbentuknya peraturan perundang-undangan. Kesesuaian antara kebiasaan dimasyarakat dengan peraturan perundang-undangan menjadikan peraturan perundang-undangan dapat terimplementasi secara maksimal dimasyarakat dan hal tersebut dapat memudahkan aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya.

Dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan sudah pasti tidak terlepas dari berbagai kendala, baik kendala yang dialami oleh aparatur penegak hukum maupun kendala yang dialami oleh masyarakat. Mengacu pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hukum dapat terimplementasi secara maksimal diatas, maka terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala Perma Nomor 4 tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik ini belum terimplementasi secara maksimal di Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Diantaranya yaitu pelaksanaan persidangan secara elektronik di Mahkamah Syar’iyahmemerlukan adanya koneksi internet yang baik, namun melihat pada kondisi wilayah di Aceh yang tidak seluruh wilayah Kabupaten Kota memiliki koneksi internet baik membuat kegiatan administrasi dan persidangan secara elektronik tidak dapat dilaksankan secara maksimal di Aceh. Koneksi internet yang belum merata dan tidak stabil membuat suara ketika pelaksanaan persidangan secara virtual tidak terdengar dengan jelas dan dapat berdampak buruk bagi perlindungan hak asasi manusia bagi terdakwa.

Administrasi dan persidangan menuntut paratur penegak hukum untuk lebih menguasai teknologi yang dapat mendukung terlaksananya Perma Nomor 4 tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik ini. Namun hingga saat ini masih banyak pegawai Mahkamah Syar’iyah yang kurang memahami cara penggunaan elektronik yang mendukung kegiatan persidangan, hal ini membuat Perma Nomor 4 Tahun 2020 ini tidak dapat dilaksanakan secara maksimal di Mahkamah Syar’iyah.

Kurangnya pemahaman antar institusi lembaga penegak hukum baik antara Kejaksaan Negeri, Mahkamah Syar’iyah dan Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksaan persidangan jinayah secara elektronik menjadi hambatan terlaksananya Perma Nomor 4 tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik, Peralatan dan perlengkapan untuk melaksanakan persidangan perkara junayah yang belum memadai yang dimiliki institusi lembaga penegak hukum membuat beberapa perkara jinayah di Aceh tidak dilaksanakan secara elektronik melainkan dilakukan secara langsung di dalam ruang sidang Mahkamah Syar’iyah.

Banyaknya kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan Perma Nomor 4 tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik ini membuat Perma Nomor 4 Tahun 2020 ini tidak dapat dilaksanakan secara maksimal di Mahkamah Syar’iyah di Aceh.

Kesimpulan

Perma Nomor 4 tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik di Mahkamah Syar’iyah telah dilaksanakan guna untuk mengurangi terjadinya penyebaran COVID-19 serta untuk melaksanakan persidangan dengan mudah, cepat dan biaya ringan.

Implementasi Perma Nomor 4 tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik di Mahkamah Syar’iyah belum terlaksana secara maksimal dikarenakan koneksi internet yang belum memadai, pegawai yang belum memahai penggunaan elektronik yang mendukung pelaksanaan persidangan persidangan, kurangnya peralatan yang mendukung serta kurangnya pemahaman antar isntitusi.

DAFTAR PUSTAKA

  • Buku

Ali Abubakar dan Zulkarnain Lubis, Hukum Jinayat Aceh: Sebuah Pengantar, Prenadamedia Group, Jakarta, 2019

Muhammad Syarifuddin, Transformasi Digital Persidangan di Era New Normal: Melayani Pencari Keadilan di Masa Pandemi Covid 19, PT. Imaji Cipta Karya, Jakarta, 2020

Priyantono Rudito dan Mardi F.N. Sinaga, Digital Mastery Membangun Kepemimpinan Digital untuk Memenangkan Era Disrupsi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2017.

Riduan Syahrani, Rangkumdan Intisari Ilmu Hukum, PT. Aditya Bakti, Bandung, 2011.

  • Karya Tulis

Kun Budiyanto, Hukum Pidana Islam:Perspektif Keadilan, Nurani, No. 1 Vol. 13, Juni 2013.

Yusrizal, (at.al), Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh Sebagai Pengadilan Khusus dalam Penyelesaian Sengketa, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 53, Th. XIII, April 2011.

  • Bahan Internet

LeIP,   Infografis PERMA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Pidana Secara Elektronik, publis pada leip.or.id tanggal 10 Desember 2020.

  • Bahan Undang-undang

Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1128.

Qanun Aceh No 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat Qanun Aceh No 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat

0 comments 118 views
0 FacebookTwitterWhatsappTelegram

Hubungi Kami

Lokasi

© 2025 TIM IT MS IDI