Pengembangan Fiqih Imam Malik
Oleh: Drs. Indra Suhardi, M. Ag.[1]
- PENDAHULUAN
Wafatnya Rasulullah Saw menandai berakhirnya pembentukan syariat Islam. Para sahabat dan generasi selanjutnya sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan mengembangkan Islam yang dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat kompleks. Namun kepergian beliau tidak berarti berakhirnya pembentukan hukum Islam. Rasulullah Saw telah meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Periode pada awal-awal kedua hijriyah dan berlanjut hingga pertengahan abad ke empat hijriyah. Fiqh pada masa ini mengalami perkembangan pesat dan mengagumkan, mengalami kematangan sempurna dan memberikan yang terbaik. Setiap mazhab pada hakikatnya, merupakan madrasah fiqh yang memperlihatkan metodologi fiqh yang cermat kepada para pengikutnya, dengan memperlihatkan metode mereka bagaimana memahami syariat dan mengistinbathkan hukum dari nash-nash dan kaidah-kaidah Islam.
Imam Malik adalah salah seorang dari ahli fiqh yang terakhir bagi kota Madinah dan juga yang terakhir bagi fuqaha’ Madinah. Hal inipun terlihat dalam metode ijtihad yang digunakan oleh Imam Malik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang dihadapi oleh masyarakat muslim waktu itu, Imam Malik mencari hukumnya di dalam al-Qur’an, dan jika tidak menemukannya dalam al-Qur’an, maka Imam Malik mencarinya di dalam al-Sunnah Nabi, dan apabila di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tidak ditemukan, maka dia mendasarkan pendapatnya kepada ijma’ para sahabat, dan apabila ijma’ para sahabat tidak ada mengenai masalah (hukum) tersebut, maka Imam Malik menggali hukum (istinbath) dengan cara ber- ijtihad diantaranya menggunakan amalan ‘amal ahl Madinah orang madinah.
Di dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan penjelasan mengenai sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath khususnya pada Mazhab Imam Malik, dengan judul, “Pengembangan Fiqh Oleh Imam Malik” dengan rincian pembahasan berikut ini : Bagaimana biografi Imam Malik, lingkungan hidupnya, bagaimanakah metode istinbath hukum Imam Malik, murid-murid Imam Maliki, yang terakhir pengaruhnya terhadap sulthan. Demikianlah gambaran singkat pembahasan ini, semoga tulisan ini bermanfaat adanya dan merupakan bahan kecil komparasi library, terutama dikalangan hakim progressif yang bercita-cita menerapkan norma-norma hukum Islam ke dalam hukum positif di Indonesia.
- PEMBAHASAN
- Biografi singkat Imam Maliki ( 94 H – 179 H ).
a. Kelahiran Imam Malik
Imam Malik adalah Imam kedua dari Imam-Imam yang empat dalam Islam. Dari segi umur, dia dilahirkan tiga belas tahun sesudah kelahiran Abu Hanifah tepatnya pada tahun 93 Hijriyah.[2] Dia dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz, dari sepasang suami istri Anas bin Malik dan Al Aliyah binti Syuraik bin Abdurrahman bin Syuraik Al Azadiyah, bangsa Arab Yaman. Ayah Imam Malik bukan Anas bin Malik sahabat Nabi, tetapi seorang tabi’in yang sangat minim sekali informasinya. Dalam buku sejarah hanya mencatat, bahwa ayah Imam Malik tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah, nama suatu tempat di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah. Walaupun demikian, dia pernah mempelajari sedikit banyak hadits-hadits Rasulullah.[3]
Nama lengkap Imam Malik yaitu Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi.[4]
Imam Malik adalah salah seorang dari ahli fiqh yang terakhir bagi kota Madinah dan juga yang terakhir bagi fuqaha’ Madinah. Dia berumur hampir 90 tahun.[5] Dia dipandang sebagai perawi hadits Madinah yang paling terpercaya dan sanad (rangkaian perawi hadits) paling tsiqah (terpercaya). Dia juga menguasai fatwa-fatwa Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar bin Khattab dan Aisyah binti Abu Bakar serta muridnya.[6] Imam Malik terkenal pula dengan sebutan Imam daar al-Hijrat (Imam dari kota Madinah). Sebutan ini diberikan kepadanya karena dalam sejarah hidupnya, Dia tidak pernah meninggalkan kota Madinah, kecuali hanya untuk naik haji ke Makkah. Dia adalah Imam dari Madzhab Maliki, salah satu dari Madzhab Sunni yang empat.
Dia mempelajari ilmu pada ulama-ulama Madinah, di antara para tabiin, para cerdik pandai dan para ahli hukum Islam. Lalu dia dididik di tengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas pikiran, cepat menerima pelajaran, kuat ingatan dan teliti. Dari kecil dia membaca al-Qur’an dengan lancar di luar kepala dan mempelajari pula tentang al-Sunnah dan selanjutnya setelah dewasa dia belajar kepada para ulama dan fuqaha. Dia menghimpun pengetahuan yang didengar dari mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, menaqal atsar-atsar mereka, mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliran-aliran mereka, dan mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga dia pandai tentang semuanya itu.[7]
b. Perjalanan Hidup Imam Malik
Setelah ditinggal wafat oleh orang yang menjamin penghidupannya (Imam Laits Mesir), mau tidak mau, Imam Malik harus mampu membiayai hidupnya bersama istri dan seorang anak perempuannya. Sebenarnya dia mempunyai barang dagangan seharga 400 dinar yang merupakan warisan dari ayahnya, tetapi karena perhatian dia hanya tercurah pada masalah-masalah keilmuan dan tidak memikirkan usaha dagangnya, akhirnya dia mengalami kebangkrutan, sehingga kehidupannya bersama keluarga menderita.[8]
Selama menuntut ilmu, Imam Malik dikenal sangat sabar. Tidak jarang dia menemui kesulitan dan penderitaan. Ibnu al-Qasim pernah mengatakan “Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian dijual di pasar”.[9] Dia sering mengunjungi para syekh, sehingga Imam Nawawi mencatat dalam kitabnya “Tahdzibul-Asma’ wal-Lughat” bahwa ia berguru pada 900 syekh, 300 dari tabi’in dan 600 dari tabi’ tabi’in. Ia juga berguru kepada syekh-syekh pilihan yang terjaga agamanya dan memenuhi syarat-syarat untuk meriwayatkan hadits yang terpercaya.[10]
Setelah Imam Malik tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya kecuali dengan jalan mengorbankan tekad menuntut ilmu, mulailah Imam Malik menyatakan seruannya kepada pengusaha, agar para ahli ilmu dijamin dapat mencurahkan waktu dan tenaga untuk menekuni ilmu, yaitu dengan memberi gaji atau penghasilan lain untuk menjamin kehidupan mereka.
Namun tak ada seorangpun para pengusaha yang menghiraukan seruan Malik. Karena pada saat itu Daulah Umayyah sedang sibuk memperkokoh dan menetapkan kekuasaannya, mereka sedang menarik simpati para ahli ilmu yang tua bukan yang muda. Hingga akhirnya secara kebetulan Imam Malik bertemu denga pemuda dari Mesir yang juga menuntut ilmu, pemuda itu bernama Al-Layts ibn Sa’ad, dan keduanya saling mengagumi kecerdasan masing-masing, sehingga tambahlah semangat persaudaraan atas dasar saling hormat.[11]
Meskipun Imam Malik senantiasa menutupi kemiskinan dan penderitaannya dengan selalu berpakaian baik, rapi dan bersih serta memakai minyak wangi, tetapi al-Layts ibn Sa’ad mengetahui kondisi Imam Malik sehingga sepulang ke negerinya, al-Layts ibn Sa’ad tetap mengirimkan hadian uang kepada Imam Malik di Madinah, dan ketika itu Khalifah yang sedang berkuasa menyambut baik seruan Imam Malik agar penguasa memberi gaji atau penghasilan lainnya kepada ahli ilmu.[12] Hari-hari Imam Malik dilalui dengan sikap taqwa, rajin shalat, melayat orang yang mati, membesuk yang sakit, memenuhi kewajibannya, i’tikaf di masjid, dan berkumpul dengan teman temannya dan menjawab persoalan yang ditanyakan kepadanya.
c. Lingkungan Hidup Imam Malik
Imam Malik semasa hidupnya sebagai pejuang agama dan umat Islam seluruhnya. Imam Malik juga dilahirkan pada pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik al-Umawi. Dia meninggal dunia pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid di masa Abbasiyyah. Zaman hidup Imam Malik adalah sama dengan zaman hidup Imam Abu Hanifah. Semasa hidupnya Imam Malik mengalami dua corak pemerintahan, Umayyah dan Abbasiyyah di mana terjadi perselisihan hebat di antara dua pemerintahan tersebut. Di masa itu pengaruh ilmu pengetahuan Arab, Persi dan Hindia (India) tumbuh dengan subur di kalangan masyarakat di kala itu.[13] Sehingga Malik dapat juga melihat perselisihan antara pro Abbasiyyah, pro Allawiyyin dan khawarij, juga perselisihan antara golongan Syi’ah dan Ahli Sunnah serta orang Khawarij.[14]
- Metode istinbath Hukum Imam Malik
Mengenai metode istinbat hukum Imam Malik, Hal ini dapat dilihat pada metodologi kajian hukum Madzhab Malik. Menurut Muhammad Hasbi ash-Shidieqy mengatakan bahwa Malik ibn Anas mendasarkan fatwanya kepada : Kitabullah, Sunnah Rasul yang dia pandang sahih, ‘Amal ahl al-Madinah, Qiyas, Fatwa sahabat, Maslahah mursalah, ‘Uruf, Saddu zara’i, Istishab dan Istihsan.[15] Menurut As-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat menyimpulkan dasar-dasar istinbath Malik ibn Anas ada 4 yaitu ; al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma’, ar-Ra’yu. Qaul sahabat dan ‘Amal ahl al-Madinah digolongkan dalam al-Sunnah, sedangkan ar-Ra’yu meliputi; maslahat al-mursalah, saddu al-dara’i, adat (urf), istihsan dan istishab.[16] Dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang dihadapi oleh masyarakat muslim waktu itu, Imam Malik mencari hukumnya di dalam al-Qur’an, dan jika tidak menemukannya dalam al-Qur’an, maka Imam Malik mencarinya didalam al-Sunnah Nabi, dan apabila di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tidak ditemukan, maka dia mendasarkan pendapatnya kepada ijma’ para sahabat, dan apabila ijma’ para sahabat tidak ada mengenai masalah (hukum) tersebut, maka Imam Malik menggali hukum (istinbath) dengan cara ber-ijtihad. Berikut metodologi kajian hukum Madzhab Malik.
- al-Qur’an
Di dalam hujjah dengan al-Qur’an, Imam Malik mengambil nash al-Qur’an berdasarkan atas dhahirnya, mengambil mafhumnya, baik meliputi mafhum mukhalafah dan mafhum al-aula. Imam Malik membedakan pengertian keduanya nash dengan pengertian dalil nash. Nash menurut Imam Malik ialah: “Apa yang tidak mungkin menurut ta’wil”.
Sedangkan dhahir menurut Imam Malik ialah: “Apa yang mungkin menurut ta’wil”.[17]
Kamudian kaitannya dengan penggunaan dari al-Qur’an antara yang dikehendaki khusus atau umum. Dari segi makna, menurut Malik ‘am tidak masuk dalam golongan dhahir. Al-Qarafi mengatakan bahwa almukhassis disisi Malik ada lima belas yaitu: akal, ijma’ kitab dengan kitab, qiyas jali dengan qiyas khafi, jika ‘am itu di al-Qur’an atau sunnah mutawatirah, sunnah mutawatirah[18] dengan yang sepertinya, kitab dengan khabar ahad, adat syarat, istisna’, sifat, ghayah, istifham dan khas.
2. Sunnah
Dalam berpegang kepada Sunnah sebagai dasar pengambilan hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada al-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terjadi pertentangan antara makna dhahir al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah sekalipun jelas (sharih), maka yang dipegang adalah makna dhahir al-Qur’an, tetapi apabila makna yang terkandung dalam sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl al-Madinah, maka dia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam Sunnah daripada dhahir al-Qur’an (Sunnah yang dimaksud adalah Sunnah mutawatirah atau masyhurah).[19]
3. ‘Aml Ahl Madinah
‘Aml ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ‘aml ahl Madinah yang asalnya dari al-naql, hasil dari mencontoh Rasulullah Saw, bukan dari ijtihad ahl Madinah, seperti tentang ukuran mud, sha’ dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi Saw atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. ‘Amal semacam ini yang dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiah, yang dimaksud dengan ‘aml ahl al- Madinah adalah aml ahl Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan dari Nabi Saw, sedangkan kesepakatan-kesepakatan yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. ‘aml ahl Madinah yang asalnya dari al-naql, sudah merupakan kesepakatan kaum muslimin sebagai hujjah. Di kalangan Madzhab Maliki, ‘aml ahl Madinah lebih didahulukan daripada khabar ahad,[20] sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberian oleh jama’ah, sedang khabar ahad adalah pemberian perorangan.
‘Aml ahl al-Madinah ada beberapa tingkatan:
- Kesepakatan ahl Madinah yang asalnya al-Naql
- Amalan ahl al-Madinah sebelum terbunuhnya ‘Utsman bin Affan.
‘Amal yang terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi Madzhab Maliki. Hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui ada amalan ahl Madinah pada masa lalu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah.
c. Amalan ahl al-Madinah yang dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya, ada dua dalil yang satu sama lainnya bertentangan, sedang untuk mentarjih dari salah satu dari kedua dalil tersebut ada yang merupakan aml ahl al- Madinah, maka dalil yang diperkuat oleh amal ahl Madinah itulah yang dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
d. Amalan Ahl al-Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi Saw. Amalan Ahl al-Madinah yang seperti ini, bukan hujjah, baik menurut Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah maupun ulama’-ulama’ di kalangan Madzhab Malikiah.[21]
4. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud sahabat di sini adalah sahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah didasarkan pada al-Naql. Berarti yang dimaksudkan fatwa sahabat itu, adalah berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat yang tersebut tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah Saw. Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat tersebut, tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan, dan fatwa sahabat yang demikian itu lebih didahulukan daripada qiyas. Juga ada kalanya Imam Malik menggunakan fatwa Tabi’in besar sebagai pegangan dalam menentukan hukum. Fatwa sahabat yang bukan hasil ijtihad sahabat, tidak diperselisihkan oleh para ulama’ untuk dijadikan hujjah. Begitu pula ijma’ sahabat yang masih diperselisihkan di antara para ulama’ adalah fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka. Di kalangan Muta’akhirin[22] Madzhab Maliki, fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka, dijadikan sebagai hujjah.[23]
5. Khabar Ahad
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW. Jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar-khabar ahad itu dikuatkan oleh dalil-dalil yang qath’i. dalam menggunakan khabar ahad ini, imam malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qias dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak popular dikalangan masyarakat madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut, tidak benar berasal dari Rasulullah saw Saw. Dengan demikian maka Khabar Ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qias dan maslahah.[24]
6. Qias
Metode qiyas dipraktekkan atau digunakan oleh Imam Malik apabila ada nass tertentu, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah yang mendasarinya. Imam Malik sedikit menggunakan Qiyas, karena beliau lebih mengutamakan penggunaan Amal Ahlu Madinah dan Qaul sahabat yang di pandang sahih. Qias dalam mazhab Maliki tidak memperoleh kedudukan seperti dalam mazhab Hanafi, dalam mempergunakan hadis dia tidak mensyaratkan kmasyhuran, hanya prsesuaan dengan amal ulama madinah.[25]
7. Al-Istihsan
Istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas yang Jalli (nyata) kepada tuntutan Qiyas yang khofi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum yang istisna’ (pengecualian) ada yang menyebabkan beliau mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.[26] Imam Malik dalam berijtihad itu menggunakan istihsan. Imam Malik tidak menjadikan istihsan sebagai kaidah, tetapi dijadikan sebagai dasar pengecualian dalam kaidah Ulama Malik menghindari pemakaian qiyas yang berlebihan dengan jalan kembali kepada urf (adat kebiasan) dan kepada prinsip menolak kepicikan dan menolak kesukaran. Dalam pendapat Imam Malik kebanyakan itu adalah mengikuti sahabat Umar yaitu lebih mengedepankan istihsan dari pada qiyas sedangkan qiyas itu adalah pendapat sahabat Ali.[27]
Dalam pendapat Imam Malik, istihsan itu berarti melaksanakan sesuatu berdasarkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil yang umum Menurut Madzhab Maliki al-istihsan adalah “menurut hukum yang mengambil masalah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal almursal daripada qiyas, sebab menggunakan qiyas itu tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan. Dari ta’rif tersebut, jelas bahwa istihsan lebih mementingkan juz’iyyah atau maslalah tertentu dibandingkan dengan dalil-dalil kully atau dalil yang umum, atau dalam ungkapan lain sering dikatakan bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih dilihat dari tujuan syari’at diturunkan,[28] Artinya jika terdapat suatu masalah yang menurut qiyas yang semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu maslahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian itu harus dialihkan ke qiyas yang lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif.
8. Al-Maslahah Mursalah
Adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’, suatu hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil yang memerintahkan untuk mengantikannya atau mengabaikannya.[29] Imam Malik menggunakan maslahah mursalah apabila tidak ada nash qur’ani atau hadis an Nabawi, karena syara’ itu tidak dating kecuali untuk kemaslahatan manusia, setiap maslahah syara’ mengandung kemaslahatan, tanpa ada keraguan. Apabila tidak ada nash, maka masalah yang hakiki itu memenuhi tahap tujuan (maqasid) syara’.[30]
Teori maslahah-mursalah pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik (W. 97 H) pendiri mazhab Malik. Namun karena pengikutnya yang lebih akhir mengingkari hal tersebut, maka setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahah-mursalah kepada Imam Malik,[31] sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yangmenyatakan bahwa teori maslahah-mursalah ditemukan dan dipopulerkan oleh ulama-ulama usul fiqih dari kalangan asy-Syafi’iyah yaitu Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H.), guru Imam al-Ghazali. Dan menurut beberapa hasil penelitian, ahli usul fiqih yang paling banyak membahas dan mengkaji maslahah-mursalah adalah Imam al-Ghazali yang dikenal dengan sebutan hujjatul Islam.[32]
9. Sad al-Dzara’i.
Dzara’i secara lughah bermakna wasilah dan makna saddud dzari’ah adalah menyumbat wasilah.[33] Dasar istinbath yang banyak dipakai Imam Malik, banyak dijumpai masalah furu’iyyah yang dinukil darinya yaitu sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkan, maka akan menjadi haram pula, sarana yang menyampaikan pada yang halal maka hukumnya adalah halal sesuai dengan tuntutan kehalalannya, begitu pula yang membawa kemaslahatan adalah haram.[34]
10. Istishab
Imam Malik menjadikan istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap seperti hukum yang pertama. Yaitu tetap ada, begitu pula sebaliknya. Misalnya orang yang yakin telah berwudlu’ dan dikuatkan lagi, bahwa ia baru saja menyelesaikan salat shubuh, kemudian datang keraguan kepada orang tersebut tentang sudah batal atau belum batal wudhu’nya, maka hukum yang dimiliki oleh orang tersebut adalah belum batal wudhu’nya. Sebaliknya apabila ada seorang yang belum berwudhu’ dan dikuatkan pula bahwa ia belum melakukan suatu salat apapun, dan dia baru hendak mengerjakan salat, kemudian dating keraguan tentang sudah berwudhu’ atau belum, maka hukum yang dimiliki orang tersebut adalah, bahwa dia belum berwudhu. Inilah yang disebut istishab.[35]
3. Murid-Murid Imam Malik
Kebanyakan Imam-imam yang termasyhur pada zaman Imam Malik adalah murid dia, dan murid-muridnya datang dari berbagai penjuru negeri. Telah diceritakan dari Imam Malik bahwa di antara murid-muridnya ialah guru-guru dari golongan Tabi’in, mereka itu ialah: al-Zuhri, Ayyub Asyfiyyani, Abu al-Aswad, Rabi’ah bin Abi Abd al-Rahman, Yahya bin Said al-Anshari, Musa bin ‘Uqbah dan Hisyam bin ‘Urwah Dari golongan bukan Tabi’in: Nafi’ bin Abi Nu’im, Muhammad bin Ajlan, Salim bin Abi Umayyah, Abu an-Nadri, Maula Umar bin Abdullah dan lain-lainnya.[36]
Dari sahabatnya ialah, Sufyan al-Tsauri, al-Li’at bin Sa’ad, Hamad bin Salamah, Hamad bin Zaid, Sufyan bin Uyainah, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Syarik ibn Lahi’ah dan Isma’il bin Kathir. Dari murid-muridnya sendiri ialah Abdullah bin Wahhab, Abd al- Rahman ibn al-Qasyim, Asyhab bin Abdul Aziz, As’ad ibn al-Furrat, Abdul Malik bin al-Majsyun dan Abdullah bin Abdul Hakim.[37]
4. Sikap Imam Malik Terhadap Sulthan (Penguasa)
Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama yang terkemuka terutama dalam bidang ilmu hadis dan fiqh. Sehingga dengan keilmuan yang dimilikinya Khalifah al Mansur Pernah bermaksud menjadikan al-Muwatha’ sebagai buku pegangan yang harus dianut isinya, tetapi Imam Malik enggan dalam menetapkannya.[38] Menurut beberapa riwayat al-Muwatha’ tidak akan lahir apabila Imam Malik tidak dipaksa oleh khalifah al- Mansur untuk membukukannya. Namun karena dipandang tidak ada salahnya untuk melakukan hal tersebut akhirnya lahirlah al-Muwatha’ yang ditulis pada masa al-Manshur (754 M-775 M) dan berakhir pada masa Khalifah al-Mahdi (775 M-785 M). Kitab al-Muwatha adalah salah satu karangan Imam Malik yang sangat populer, sehingga beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuanya kepada orang lain yang membutuhkannya. Banyak dari para muhaddisin besar mempelajari hadis dari beliau dan menjadi rujukan para ahli fiqh.
Imam malik diangkat menjadi seorang mufti dan merupakan sosok mufti yang dipercaya oleh umat pada saat itu. Dalam menjalankan tugasnya sebagai mufti Imam Malik banyak menghadapi keganasan dan kekejaman fisik dari penguasa, Imam Malik dikenal tegas terhadap penguasa, dan tidak mau ikut campur masalah politik manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tidak sejalan dengan aqidah islamiyah. Imam malik menentang tanpa takut resiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far gubernur madinah. Tatkala itu Ja’far keponakan dari khalifah al-mansur ini meminta ia memberi fatwa tentang baiat (sumpah setia kepada kahlifah al-Mansur) yang diberikan secara paksa, Imam Malik menyatakan cara seperti itu tidak sah. Imam Malik merasa tidak mungkin untuk melakukan itu. Sehingga dengan sikap imam Malik ini Ja’far merasa terhina sekali, iapun memerintahkan pengawalnya untuk mendera imam Malik sebanyak 70 kali.[39]
Daftar Pustaka
Ahmad al-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: Amzah, 2001)
M. Alfatih Suryadilaga (editor), Studi Kitab Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2003)
Hafid Al Ansori, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, Cet. Ke-3, 1994)
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Abdur Rahman Asy-Syarqawi, Riwayat 9 Imam Fiqh, (Bandung: Pustaka Pelajar Hidayah, 2000)
Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 2000)
Imam Munawwir, Mengenal Pribadi Tiga puluh Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke masa, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985)
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 1997)
Proyek Pembinaan perguruan Tinggi Agama, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: tp.,1981)
Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2002)
T.M. Hasbi Ash-Syidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Huzaimah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos, 1997),
T.M. Hasby ash-Siddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999)
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,( Jakarta: Pustaka Amani, 2003)
Yusuf al Qardhawi, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern,( Jakarta: Gema Insani, 2002)
Abdullah Mustafa Al Maraghi, Fath al-Mubin fi Tabaqat al Ushuliyyin, Terj. Husein Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 2001)
Wael B. Hallag, (2000), A History of Islamic Legal Theories, Terj. E.Kusnadiningrat, (Jakarta:Rajawali Press)
[1] Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Idi / Mahasiswa Program Doktor UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
[2] Ahmad al-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: Amzah, 2001), hal. 71
[3] M. Alfatih Suryadilaga (editor), Studi Kitab Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2003), hal. 38
[4] Hafid Al Ansori, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, Cet. Ke-3, 1994), hal 139
[5] Ahmad al-Syurbasi, Sejarah …, hal. 47
[6] Hafid Al Ansori, et.al., Ensiklopedi —, hal. 142
[7] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 195
[8] Abdur Rahman Asy-Syarqawi, Riwayat 9 Imam Fiqh, (Bandung: Pustaka Pelajar Hidayah, 2000), hal. 278
[9] Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 2000), hal. 79
[10] Ahmad Asy-Syurbasi…, hal. 75
[11] Abdur Rahman Asy-Syarqawi…, hal. 279
[12] Abdur Rahman Asy-Syarqawi…, hal. 279
[13]Imam Munawwir, Mengenal Pribadi Tiga puluh Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke masa, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), hal. 245
[14] Syi’ah adalah suatu Aliran atau sekte yang sangat mengagungkan kepemimpinan sayidina Ali dan para keturunannya. Sekte ini terjadi setelah perang siffin yaitu perang antara pihak Ali sebagai khalifah dan pihak Mu’awiyah sebagai guberur Syam (Syiria) yang kurang puas terhadap kepemimpinan sang khalifah yang tidak mau mengadili orang-orang yang telah membunuh Utsman. Setelah pasukan Mu’awiyah hampir mengalami kekalahan, pemimpin perang mereka Umar bin Ash mengangkat pedang dan di atasnya ada al-Qur’an sebagai pertanda damai antara kedua belah pihak, lalu diadakanlah tahkim (arbitrase) antara pihak Ali yang diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Mu’awiyah dan diwakili oleh Umar bin Ash. Setelah berunding yang menang adalah dari pihak Mu’awiyah yang dengan kecerdikan wakilnya yaitu Umar bin Ash dengan mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah yang baru. Sedangkan sekte khawarij adalah sekte yang menganggap bahwa semua hukum adalah hukum Allah, sebagaimana simbol mereka “La hukma illa Allah” sehingga tidak ada hukum yang berasal dari manusia. Kelompok ini dulunya adalah pengikut Ali, setelah Ali menyetujuhi tahkim, maka mereka keluar dari barisan Ali. Orang-orang khawarij menganggap Ali, pengikutnya serta Mu’awiyah dan pengikutnya adalah kafir, mereka hanya mengakui Abu Bakar, Umar dan Utsman sebagai khalifah. Sedangkan Ahli Sunnah adalah suatu sekte yang tidak memihak kepada siapapun baik Ali dan Mu’awiyah, sekte ini dianggap lebih moderat dalam segala hal pemikirannya.
[15] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 1997) hal. 185
[16] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Siddieqy…, hal. 185
[17] Proyek Pembinaan perguruan Tinggi Agama, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: tp.,1981)hal. 86
[18]Sunnah mutawatirah ialah sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang (rawi) yang biasanya para rawi itu tidak mungkin mengadakan kesepakatan untuk melakukan kebohongan, karena jumlah mereka yang banyak, jujur dan berbeda lingkungan tempat tinggalnya. Assunnah ini diceritakan oleh suatu kelompok kepada kelompok lainnya, yang masing-masing itu tidak mungkin mengadakan persekongkolan untuk berdusta meriwayatkan as-Sunnah tersebut. Contoh mengerjakan salat, puasa, haji dan adzan. Untuk lebih jelasnya lihat M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2002), hal. 22.
[19] Sunnah Masyhurah ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang, dua orang atau sekelompok sahabat yang tidak mencapai derajat atau tingkatan sunnah mutawatir. Termasuk kelompok ini adalah hadits riwayat dari Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud. Salah seorang dari mereka, diriwayatkan dari kelompok lain, yang tidak mungkin mengadakan kebohongan. Untuk lebih jelasnya lihat M. Ali Hasan, Ibid. hal. 23.
[20] Khabar ahad adalah segala khabar yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau lebih, tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya masyhur. Membahasakan hadits ini kepada Rasul berdasar kepada persangkaan semata bukan berdasar keyakinan. Lihat T.M. Hasbi Ash-Syidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 205.
[21] Huzaimah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos, 1997), hal.107
[22]Muta’akhirin adalah suatu kelompok ulama’ yang hidup pada masa abad kedua hijriah..
[23] Huzaimah Tahido Yango, Pengantar…, hal. 108
[24] Huzaimah Tahido Yango, Pengantar…, hal. 109
[25] Hasby ash-Siddiqy,Pengantar Ilmu Fiqh, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999) Hal. 133
[26] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,( Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal. 110.
[27] Yusuf al Qardhawi, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern,( Jakarta: Gema Insani, 2002), hal. 71-72
[28] Abd al-Wahab Khallaf… , hal. 104
[29] Abdul Wahhab Khalaf,…, hal. 116
[30] Teungku Muhammad Hasbi Asy Siddieqy…, hal. 222.
[31] Wael B. Hallag, (2000), A History of Islamic Legal Theories, Terj. E.Kusnadiningrat, (Jakarta:Rajawali Press), hal. 165-166
[32] Penulis sendiri cenderung dengan pendapat pertama yang menyatakan teori maslahah-mursalah pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik dan menjadi popoler di tangan Imam al-Ghazali.
[33] Teungku Muhammad Hasbi Asy Siddieqy…, hal. 277.
[34]Teungku Muhammad Hasbi…, hal. 229-230
[35] Huzaimah Tahido Yango, Pengantar…, hal. 112
[36]Abdullah Mustafa Al Maraghi, Fath al-Mubin fi Tabaqat al Ushuliyyin, Terj. Husein Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta: LKPSM, 2001, hal. 81.
[37] Ahmad al-Syurbasi,…hal. 90
[38] Hasby ash-Siddiqy,Pengantar…, hal.120
[39] Huzaimah Tahido Yango, Pengantar…, hal. 105